Penghapusan nilai rapor dari proses SPMB mengirim pesan bahwa penilaian guru tidak dianggap valid. Padahal, rapor adalah hasil dari proses belajar mengajar harian yang holistik.
“Jika pemerintah tidak lagi percaya pada guru dan sistem sekolah, mau di bawah kemana arah pendidikan di Indonesia? Bagaimana nasib anak-anak yang sedang belajar di sebuah institusi yang dianggap rusak dan tidak dapat dipercaya oleh pemerintah” tanya Ubaid.
Alih-alih memperbaiki sistem penilaian di sekolah (misalnya melalui pelatihan guru, audit independen, atau sanksi tegas bagi pelaku mark-up, pemerintah justru memilih kebijakan reaktif yang berpotensi merusak ekosistem pendidikan.
Baca juga: Jalur Prestasi SPMB Tak Lagi Pakai Rapor, Pemerintah Tak Percaya pada Guru?
Selain itu, JPPI mendesak Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah untuk segera mencabut kebijakan penghapusan nilai rapor dalam jalur prestasi pada SPMB 2025
JPPI juga mendesak pengembangan sistem verifikasi nilai rapor yang lebih transparan dan akuntabel, misalnya dengan memperkuat pengawasan internal dan eksternal dengan melibatkan partisipasi orang tua murid dan masyarakat.
Audit rutin oleh lembaga independen yang memiliki kredibilitas juga harus dilakukan untuk memastikan bahwa setiap data nilai yang tercatat dapat dipertanggungjawabkan dengan baik.
Lebih lanjut, JPPI mendesak agar Kemendikdasmen menjatuhkan sanksi tegas bagi sekolah dan guru yang terbukti melakukan manipulasi nilai.
Tindakan manipulasi nilai rapor bukan hanya merusak kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan, tetapi juga merugikan siswa yang berusaha keras untuk meraih prestasi secara jujur dan adil.
JPPI juga mendesak agar upaya untuk memulihkan dan menguatkan kembali kepercayaan publik terhadap guru dan sekolah segera dilaksanakan.
“Pendidikan adalah tentang membangun integritas dan kepercayaan, bukan sekadar membuat prestasi untuk kepentingan seleksi. Kebijakan penghapusan nilai rapor ini jika diteruskan justru merusak fondasi tersebut. Kami mendorong dialog terbuka antara Kemendikdasmen, guru, pihak sekolah dan masyarakat untuk mencari solusi yang lebih adil, dan tidak meruntuhkan kepercayaan public terhadap sekolah,” pungkas Ubaid.
Berbeda dengan Ubaid, Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) menilai SPMB 2025 lebih fokus untuk mengakomodasi siswa yang berprestasi atau meritokrasi.
Menurut Direktur Eksekutif PSPK Nisa Felicia, hal itu terlihat dari meningkatnya persentase kuota jalur prestasi pada SPMB 2025.
"Perubahan ini mengisyaratkan bahwa dibandingkan sebelumnya, pemerintah saat ini lebih mementingkan meritokrasi," kata Nisa dikutip dari keterangan tertulis, Senin (10/3/2025).
Nisa menjelaskan, pada sistem sebelumnya yakni PPDB, jalur prestasi dibuka setelah pemerintah daerah menetapkan kuota jalur lainnya.
Sementara pada kebijakan baru mengatur kuota minimal 25 persen untuk jenjang SMP dan 30 persen untuk SMA.
"Jalur domisili dan prestasi di jenjang SMA bahkan memiliki kuota minimal yang sama, yakni 30 persen," ujarnya.
Baca juga: Jadwal Lengkap SPMB 2025 SD, SMP, SMA, Dibuka Bulan Mei
Nisa menuturkan, dalam kebijakan sebelumnya, jalur zonasi yang sekarang bernama domisili dengan kuota minimal 50 persen telah berkontribusi menurunkan kesenjangan hasil belajar antarsekolah.
Oleh karena itu, PSPK berharap pemerintah daerah menetapkan kuota jalur domisili yang lebih besar dari kuota jalur prestasi.
"Penggunaan jarak sebagai kriteria dalam jalur domisili dapat membuka kesempatan bagi semua anak dari berbagai latar belakang. Termasuk kelompok murid yang berprestasi maupun yang kurang berprestasi, untuk menempuh pendidikan di sekolah negeri," ucap dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita 优游国际.com WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.