KOMPAS.com - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Puan Maharani mengatakan, hubungan antara eksekutif dan legislatif berjalan dengan baik di era pemerintahan Presiden Jokowi Widodo (Jokowi).
"Saat ini 10 tahun pemerintahan Pak Jokowi hubungan antara eksekutif dan legislatif itu sudah bisa terjalin dengan baik, walaupun terjadi banyak dinamika," usai upacara Peringatan Hari Kesaktian Pancasila, di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta Timur, Selasa (1/10/2024).
Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin menjelaskan, hubungan antara eksekutif dan legislatif di era Jokowi memang berjalan baik karena saling mendukung.
Namun, pada akhirnya DPR sebagai lembaga legislatif hanya sekadar menjadi stempel yang melegalkan kebijakan Presiden Jokowi, termasuk kebijakan yang dianggap tidak pro rakyat.
Hal ini bisa dilihat dari bagaimana DPR mengesahkan omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja pada 2020 yang diajukan pemerintah.
Meski banyak mendapat penolakan dari sejumlah elemen masyarakat, namun UU tersebut tetap disahkan.
Hal serupa juga dilakukan ketika DPR dan pemerintah menyetujui revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2019. Meski dianggap berpotensi melemahkan KPK, namun revisi itu tetap disahkan.
"Tapi DPR banya menjadi stempel untuk melegalkan kebijakan-kebijakan Jokowi yang dianggap tidak pro rakyat. Ya happy dong eksekutif kalau legislatifnya mengeksekusi," ujar Ujang kepada 优游国际.com, Kamis (3/10/2024).
Ujang melihat, di era Jokowi pengawasan di parleman tidak kuat. Beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diajukan eksekutif dibahas secara kilat dan tidak berkualitas.
Salah satunya pembahasan RUU tentang Ibu Kota Negara (IKN) yang selesai dibahas hanya dalam waktu 43 hari. Meskipun ada juga Fraksi yang menolak UU IKN, yaitu Partai Keadilan Sejahtera.
Selama sepuluh tahun terakhir Fraksi PKS menjadi salah satu pihak yang memperlihatkan diri menjadi oposisi. Selain PKS, ada juga Fraksi Partai Demokrat.
PKS dan Partai Demokrat seringkali memperlihatkan sikap berseberangan dengan pemerintah, misalnya ketika menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja saat akan dibawa ke Rapat Paripurna DPR.
Akan tetapi, belakangan ini dua partai yang menjadi oposisi, yakni Partai Demokrat dan PKS merapat ke pemerintahan.
"Sebenarnya oposisi di zaman Jokowi itu enggak kuat-kuat amat. Demokrat dan PKS lembek juga," ujar Ujang.
Bagi ujang, dengan lemahnya pengawasan di parlemen dan tidak adanya oposisi, maka sangat rawan sebuah kekuasaaan disalahgunakan.