KOMPAS.com - Ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah kerap memicu pelengseran presiden dari kursi kekuasaannya.
Pada era reformasi 1998 di Indonesia, Presiden Soeharto dipaksa mundur setelah 32 tahun berkuasa.
Peristiwa serupa terjadi di beberapa negara, antara lain, Sri Lanka, Bolivia, dan Sudan. Sang kepala negara lengser atas kehendak rakyat.
Ada pula aksi massa di Bangladesh yang memaksa Perdana Menteri Sheikh Hasina mundur dan kabur dari negaranya. Namun, kepala negara Bangladesh tetap dijabat Presiden Mohammed Shahabuddin.
Kebijakan yang dianggap sewenang-wenang, dugaan kecurangan pemilu, sampai kasus korupsi, memantik gerakan masyarakat sipil untuk menggulingkan kekuasaan. Kepala negara pun dijatuhkan.
Pada awal 2022, Sri Lanka dilanda kekacauan setelah inflasi meroket karena cadangan devisa habis.
Dilansir saat itu Sri Lanka mengalami kekurangan bahan bakar, makanan, serta obat-obatan.
Masyarakat mengalami pemadaman listrik hingga 13 jam dalam krisis ekonomi terburuk yang pernah terjadi.
Presiden Sri Langka Gotabaya Rajapaksa dan keluarganya dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab.
Masyarakat menganggap Rajapaksa tidak kompeten dan korup selama menjadi presiden. Hal itu kemudian memicu gelombang demonstrasi di beberapa wilayah.
Puncaknya, para demonstran menggeruduk istana kepresidenan untuk memaksa Rajapaksa turun dari kekuasaan.
Namun, ketika massa berhasil masuk ke istana, Rajapaksa sudah melarikan diri. Para demonstran yang berhasil menduduki istana lantas mengambil sejumlah barang.
Beberapa hari setelah istana diduduki oleh para demonstran, Rajapaksa yang masih dalam pelarian mengumumkan pengunduran diri.
Banyak orang merayakan pengunduruan diri Rajapaksa dan menganggapnya sebagai kemenangan besar bagi gerakan sipil.
Presiden Bolivia Evo Morales digulingkan dari jabatannya pada 2019 setelah berkuasa sejak tahun 2006.