KOMPAS.com - Tragedi pesawat Iran Air 655 yang ditembak jatuh Angkatan Laut Amerika Serikat di atas Teluk Persia, pada 3 Juli 1988, menjadi memori kelam bagi rakyat Iran.
Dilansir , serangan Angkatan Laut AS menewaskan 290 orang di pesawat, 66 di antaranya adalah bayi dan anak-anak.
Peristiwa ini adalah salah satu faktor yang mendasari ketidakpercayaan Pemerintah Iran terhadap AS selama puluhan tahun.
Serangan terhadap pesawat Iran Air terjadi di tengah periode Perang Tanker, ketika pasukan AS berpatroli di jalur pelayaran di Teluk Persia untuk melindungi tanker minyak Kuwait.
Pada waktu itu, kelompok Garda Revolusi Iran sering kali mengganggu atau mengepung tanker yang melintas dengan kapal-kapal kecil.
Kemudian, hari kelam itu tiba. Pesawat Iran Air 655 lepas landas dari Bandar Abbas, Iran, menuju Dubai, Uni Emirat Arab pada 3 Juli 1988.
Kapal cruiser USS Vincennes salah mengenali pesawat itu dan menganggapnya sebagai jet tempur F-14 Iran, meski memiliki peralatan tempur tercanggih pada masa itu.
Dilansir , segera setelah insiden tersebut, pejabat AS melaporkan bahwa pesawat Iitu menukik menuju Vincennes dan tidak berada dalam rute normalnya.
Angkatan Laut disebut telah mengeluarkan 11 peringatan lewat sinyal radio sebelum Vincennes menembakkan dua misil ke pesawat dan menjatuhkannya.
Namun, laporan Angkatan Laut AS pada 28 Juli 1988, yang dirilis ke publik dalam bentuk sudah disunting pada 19 Agustus, membantah klaim tersebut.
Laporan itu menyebutkan, pesawat Iran sebenarnya terbang di rute yang telah ditetapkan, dan melaju dengan kecepatan yang jauh lebih lambat daripada yang dilaporkan oleh Vincennes.
Selain itu, pilot pesawat sedang berkomunikasi dengan dua menara pengawas udara sehingga kemungkinan tidak memeriksa peringatan yang dikeluarkan Vincennes.
Pada akhirnya, para pejabat AS menyimpulkan, jatuhnya pesawat Iran Air 655 yang menewaskan 290 orang adalah kecelakaan yang tragis dan patut disesalkan.
Mereka mengatakan, kegagalan kapal cruiser canggih USS Vincennes mengidentifikasi pesawat tersebut disebabkan oleh "kesalahan manusia" dan "distorsi data yang tidak disadari".
Namun, beberapa pihak menuduh militer AS menutup-nutupi kasus tersebut