KOMPAS.com - Tiga puluh satu tahun berdiri sebagai sebuah organisasi, pucuk kepemimpinan Jamaah Islamiyah (JI) silih berganti.
Meski berdiri sejak 1 Januari 1993, nama JI baru santer terdengar publik pada kurun waktu 2001-2002, seiring kecurigaan keterkaitannya dengan Al Qaeda.
Kelompok Al Qaeda disebut pemerintah Amerika Serikat (AS) sebagai aktor di balik serangan terorisme ke World Trade Center (WTC) di New York, AS, pada 11 September 2001.
Nama JI pun kian menuai perhatian dunia usai tragedi rentetan pengeboman di Bali pada 12 Oktober 2002 atau lebih dikenal sebagai tragedi Bom Bali I.
Noor Huda Ismail dan Carl Ungerer dalam laporan "" yang terbit di Australian Strategic Policy Institute (2009) menuliskan, tekanan dari polisi dan operasi keamanan sejak bom Bali pertama menyebabkan JI bukan lagi organisasi yang kohesif dengan struktur kepemimpinan jelas dan terpadu.
Faktanya, perpecahan lebih lanjut muncul di antara anggota kelompok, termasuk kelahiran kelompok baru Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) pada 2008 yang dipimpin oleh pemimpin spiritual JI, Abu Bakar Baasyir.
Ada juga faksi arus utama yang dipimpin oleh Abu Rusdan, kaum tradisionalis yang terus-menerus menentang pengeboman lebih lanjut dan mendorong anggota untuk tidak berpartisipasi dalam serangan apa pun.
Sepanjang sejarahnya, JI sendiri telah dikomandoi sejumlah pimpinan tertinggi dengan sebutan amir.
Namun, setidaknya ada sosok-sosok utama dalam tubuh JI, yakni Abdullah Sungkar, Abu Bakar Baasyir, Abu Rusdan, dan Para Wijayanto.
Baca juga: Lini Masa Perjalanan Jamaah Islamiyah, dari Pembentukan sampai Pembubaran Diri
Abdullah Sungkar dipercaya sebagai sosok pendiri Jamaah Islamiyah pada 1993, di Malaysia, saat melarikan diri bersama Abu Bakar Baasyir sebelum menghadapi putusan kasasi Mahkamah Agung.
Mereka adalah pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Al Mukmin di Ngruki, Sukoharjo, dekat Solo, Jawa Tengah.
Lembaga studi International Crisis Group (ICG) dalam laporannya mengatakan, Pesantren Ngruki berkaitan dengan jaringan teror Al Qaeda di Asia Tenggara.
Harian 优游国际, 8 Maret 1985 memberitakan, Sungkar dan Baasyir diadili atas kasus subversif menentang Asas Tunggal Pancasila selama era Presiden Soeharto pada 1982.
Divonis 9 tahun penjara dipotong masa tahanan, Pengadilan Negeri Sukoharjo menilai, keduanya melanggar Undang-Undang Nomor 11/PNPS/1963, yaitu menentang pemerintah dan ingin menggantikan dasar negara Pancasila dengan dasar Al Quran dan Sunnah.
Mereka pun mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jawa Tengah, yang memutuskan pemotongan hukuman menjadi 4 tahun penjara dipotong masa tahanan.
Jaksa kemudian mengajukan kasasi, tetapi Sungkar dan Baasyir lebih dulu meninggalkan Indonesia secara rahasia ke kawasan Kuala Pilah, Negeri Sembilan, Malaysia, saat mendapat surat panggilan untuk mendengarkan kasasi pada April 1985.
Baca juga: Kilas Balik Penetapan JI sebagai Kelompok Terlarang dan Rentetan Aksi Terornya
Berbeda dengan Abu Bakar Baasyir, Abdullah Sungkar secara tidak langsung justru mempertegas eksistensi organisasi ini.
Hal tersebut diungkap oleh mendiang Djohan Effendi, eks Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), dalam Harian 优游国际, 7 November 2002.
Dalam wawancara dengan majalah Nidaul Islam terbitan ke-17, Februari-Maret 1997, Abdullah Sungkar, yang dipanggil dengan julukan "Sheikh" dan disebut sebagai Amir "Islamic Group" Indonesia, menceritakan tentang gerakan JI sebagai organisasi yang bercita-cita membangun Daulah Islamiyah, Pemerintahan Islam.
Abdullah Sungkar menegaskan perbedaan antara JI dengan organisasi-organisasi Islam lainnya.
Menurut Sungkar, jika partai-partai politik dan organisasi-organisasi Islam lain mengambil jalan kooperatif, JI bersikap nonkooperatif dengan pemerintahan yang ada.
Dalam kerangka sikap nonkooperatif itulah kelompok Jamaah Islamiyah melaksanakan strategi iman, hijrah, dan jihad.
Gerakan Jamaah Islamiyah ini, masih menurut Abdullah Sungkar, bukanlah sebuah gerakan yang sepenuhnya baru.
Embrionya sudah ada, yaitu gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang telah memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) pada 7 Agustus 1945 untuk menentang Belanda dan Rezim Sekuler Republik Indonesia.
Meski berhenti sampai tertangkapnya pendiri, Kartosuwiryo, pada 1962, JI disebut meneruskan dengan berusaha mengembalikan kesadaran akan kewajiban membangun Daulah Islamiyah melalui jalan jihad.
Beberapa bulan setelah kejatuhan rezim Orde Baru, majalah Nidaul Islam terbitan ke-24, Juli-Agustus 1998, memuat Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir yang menyampaikan tazkirah atau peringatan kepada umat Islam Indonesia, umat Islam pada umumnya, dan umat non-Muslim.
Melalui tazkirah itu, keduanya menegaskan bahwa umat Islam dihadapkan pada dua pilihan, yakni hidup dalam sebuah bangsa berdasarkan Al Quran dan Sunnah, atau gugur dalam perjuangan mewujudkan hukum yang secara keseluruhan didasarkan pada Al Quran dan Sunnah.
Setelah bertahun-tahun menetap di Negeri Jiran, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Baasyir memutuskan untuk kembali ke Indonesia pada era Presiden Abdurrahman Wahid.
Namun, tidak lama sejak kepulangan ke Tanah Air, pemimpin tertinggi atau Amir JI, Abdullah Sungkar, meninggal dunia pada Oktober 1999 akibat serangan jantung.
Setelah Sungkar meninggal, Baasyir menggantikan posisinya sebagai Amir Jamaah Islamiyah hingga 2002.
Baca juga: Sejarah Berdirinya Jamaah Islamiyah, Pewaris Gerakan Darul Islam
Abu Bakar Baasyir yang tahun ini berusia 85 tahun sering disebut sebagai pemimpin spiritual jaringan Jamaah Islamiyah yang memiliki hubungan dengan Al Qaeda.
Berkenaan dengan Jamaah Islamiyah, Abu Bakar Baasyir dalam berbagai kesempatan membantah keberadaan dan keterlibatannya.
Salah satunya, dilansir dari pemberitaan Harian 优游国际, 27 Oktober 2002, disampaikan melalui sumpah saat Baasyir masih terbaring di Rumah Sakit Pembinaan Kesejahteraan Umat (RS PKU) Muhammadiyah Solo.