KOMPAS.com - Rebo Wekasan adalah salah satu tradisi yang dirayakan pada hari Rabu terakhir di bulan Safar dalam kalender Islam atau Hijriah. Tradisi Rebo Wekasan pertama kali diadakan pada masa Wali Songo.
Saat itu, banyak ulama yang beranggapan bahwa pada bulan Safar, Allah SWT menurunkan lebih dari 500 macam penyakit.
Sehingga sebagai bentuk antisipasi agar terhindar dari musibah, para ulama melakukan tirakatan dengan memperbanyak doa dan ibadah.
Hingga saat ini, tradisi Rebo Wekasan masih dilestasikan di sejumlah wilayah oleh umat Islam. Selain dikenal dengan Rebo Wekasan, tradisi ini juga disebut dengan nama Rabu Pungkasan.
Lantas, Rebo Wekasan jatuh pada tanggal berapa?
Baca juga: Sejarah dan Asal Mula Rebo Wekasan yang Jatuh pada 21 September 2022
Pemerhati budaya sekaligus Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Tundjung W Sutirto mengatakan bahwa Rebo Wekasan diperingati pada tanggal 27 Safar.
"Kalau melihat penanggalan Hijriah maka jatuh pada 27 Safar 1445 Hijriah atau bertepatan dengan 13 September 2023," ujarnya, saat dihubungi ÓÅÓιú¼Ê.com, Selasa (12/9/2023).
Akan tetapi, Tundjung melanjutkan bahwa ritual Rebo Wekasan bisa dilakukan pada Selasa 12 September 2023 selepas shalat Maghrib atau sholat Isya.
"Dalam konsep kebudayaan Jawa numerologi (petangan/ perhitungan) bahwa waktu selepas Ashar itu sudah dihitung untuk waktu hari besoknya," kata Tundjung.
Namun, ada pula masyarakat yang menyelenggarakan tradisi Rebo Wekasan pada Rabu mulai dari pagi sampai siang hari.
Baca juga: Rebo Wekasan Jatuh pada 21 September 2022, Ini Asal Mula dan Sejarahnya
Dilansir dari laman Warisan Budaya Tak Benda Indonesia, sejarah Rebo Wekasan terbagi menjadi beberapa versi, berikut di antaranya.
Versi pertama, sejarah Rebo Wekasan berawal pada 1784. Saat itu, hidup seorang kyai yang bernama Mbah Faqih Usman atau lebih dikenal dengan nama Kyai Wonokromo Pertama atau Kyai Welit.
Diceritakan bahwa Kyai Wonokromo Pertama memiliki kelebihan ilmu yang sangat baik di bidang agama maupun bidang ketabiban dan penyembuhan penyakit.
Masyarakat Wonokromo percaya bahwa Mbah Kyai mampu mengobati penyakit dan metode dengan cara disuwuk, yaitu dibacakan ayat-ayat Al-Quran pada segelas air lalu diminumkan kepada pasiennya sehingga pasien tersebut dapat sembuh.
Kabar itu terdengar sampai ke Sri Sultan Hamengku Buwono I (HB I) yang mengutus 4 orang prajuritnya untuk membuktikan hal tersebut.
Sepeninggal Kyai Wonokromo Pertama, masyarakat meyakini bahwa mandi di pertempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan mendatangkan berkah ketenteraman.
Oleh karena itu, setiap hari Rebo Wekasan masyarakat berbondong-bondong untuk mencari berkah.
Baca juga: 5 Alasan Harus Menonton Film Inang, Angkat Mitos Rabu Wekasan