KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan terkait ambang batas dan usia pencalonan kepala daerah pada Selasa (20/8/2024) lalu.
MK menyatakan, ketentuan ambang batas pencalonan kepala daerah yang diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang Pilkada adalah inkonstitusional.
Namun, pada Rabu (21/8/2024) kemarin, Badan Legislasi (Baleg) DPR mengadakan rapat revisi UU Pilkada dengan hasil yang bertabrakan dengan putusan MK.
MK juga lewat putusannya telah menegaskan penghitungan usia itu dihitung sejak penetapan pasangan calon, bukan saat pelantikan calon terpilih.
Namun Baleg DPR merevisi aturan syarat usia calon kepala dan wakil kepala daerah, yakni dihitung sejak pasangan calon terpilih dilantik.
Tanggapan Presiden Jokowi
Presiden Joko Widodo (Jokowi) kemudian memberikan tanggapan terkait putusan MK dan hasil rapat Baleg DPR tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada.
Presiden Jokowi melalui unggahan video di akun Instagramnya (21/8/2024) menyatakan menghormati kewenangan dan keputusan masing-masing lembaga negara.
”Kita hormati kewenangan dan keputusan dari masing-masing lembaga negara. Itu proses konstitusional yang biasa terjadi di lembaga-lembaga negara yang kita miliki,” ujar Presiden Jokowi.
Lebih lanjut dalam keterangan unggahan tersebut, menerangkan bahwa Pemerintah menghormati kewenangan dan keputusan dari masing-masing lembaga terkait aturan Pilkada.
Dinamika yang terjadi adalah bagian dari proses yang harus dijalani dalam sistem berdemokrasi di Indonesia.
Serta keputusan MK dan Pembahasan DPR adalah bagian dari checks and balances yang harus berjalan.
Tanggapan tersebut menunjukkan seolah Presiden Jokowi “membiarkan” revisi UU Pilkada dari Baleg DPR melawan putusan MK.
Keputusan Baleg DPR dianggap oleh beberapa kalangan sebagai skenario untuk meloloskan Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep, anak bungsu Presiden Jokowi, di Pilkada Jawa Tengah.
Dilansir dari KOMPAS.ID (21/8/2024), Direktur Eksekutif The Indonesian Institute Adinda Tenriangke Muchtar menilai revisi UU Pilkada mengabaikan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
Proses yang kejar tayang, reaktif, serta penuh intrik dan konflik kepentingan menunjukkan cara kerja DPR dan proses legislasi yang karut-marut.
Bahkan, menurutnya, bukan tidak mungkin Pilkada 2024 ini mengulang skenario Pilpres 2024, yakni melanggengkan kepentingan untuk meloloskan putra bungsu Presiden Jokowi di Pilkada 2024.
Presiden memang harus mematuhi undang-undang, namun demikian DPR tidak boleh mengabaikan putusan MK.
Sementara Ketua The Constitutional Democracy Initiative Consid Kholil Pasaribu mengkritik keras proses revisi UU Pilkada oleh Baleg DPR dan pemerintah.
Terlebih karena materi revisi UU Pilkada yang dibahas menyimpang dari putusan MK yang telah hadir sebelumnya.
Menurut Kholil, revisi UU Pilkada sarat dengan muatan politik pragmatis dan menggambarkan kepentingan elite penguasa yang terganggu.
Diketahui ada beberapa keputusan Baleg DPR dalam rapat pembahasan RUU Pilkada berlawanan dengan Putusan MK.
Dikutip dari 优游国际.com (22/8/2024), Putusan MK pada 20 Agustus 2024 mengubah ambang batas pencalonan didasarkan pada jumlah penduduk.
Artinya pencalonan kepala daerah dari partai politik disamakan dengan threshold pencalonan kepala daerah jalur independen/perseorangan/nonpartai.
Sementara keputusan Baleg DPR (20 Agustus 2024) mempertahankan ambang batas 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah. Pelonggaran hanya berlaku untuk partai politik yang tak punya kursi di DPRD
Selanjutnya, menurut putusan MK, batas usia minimum calon Gubernur adalah 30 tahun dan Bupati/Wali Kota 25 tahun saat ditetapkan oleh KPU sebagai calon, bukan saat dilantik.
Sementara keputusan Baleg DPR menyatakan batas usia paling rendah calon Gubernur adalah 30 tahun dan calon Bupati/Wali Kota 25 tahun saat dilantik.
/tren/read/2024/08/22/144500765/mengapa-presiden-jokowi-membiarkan-revisi-uu-pilkada-melawan-putusan-mk-