KOMPAS.com - Pada musim gugur tahun 1922, dunia diguncang oleh penemuan yang luar biasa: makam Firaun Tutankhamun ditemukan utuh di Lembah Para Raja, Mesir. Howard Carter, arkeolog Inggris yang gigih mencari makam sang raja muda selama bertahun-tahun, akhirnya membuka pintu gerbang menuju sejarah.
Namun, kegembiraan itu dengan cepat dibayangi oleh kabar duka: George Herbert, Earl of Carnarvon—penyandang dana utama ekspedisi tersebut—meninggal dunia tak lama setelah memasuki makam itu. Masyarakat dunia pun bergidik. Apakah ini bukti nyata dari kutukan Firaun?
“Kutukan Firaun Berumur 3.000 Tahun Terlihat dari Penyakit Carnarvon,” begitu judul halaman depan The Courier Journal edisi 21 Maret 1923. Dunia mulai berbisik tentang “kutukan mumi”. Apakah benar ada kutukan yang membunuh siapa pun yang berani mengganggu peristirahatan raja Mesir?
Baca juga: Apakah Ada Kutukan Saat Membuka Makam Firaun Mesir?
Carnarvon wafat akibat infeksi yang berasal dari luka cukur di area gigitan nyamuk. Meski terdengar sepele, kematiannya yang terjadi hanya beberapa bulan setelah penemuan makam mengundang spekulasi luas.
Istrinya, Almina Herbert, juga sempat jatuh sakit, tetapi akhirnya pulih dan hidup hingga usia 93 tahun. Tetap saja, kematian suaminya membuka jalan bagi narasi yang lebih besar: benarkah ada kutukan di dalam makam Tutankhamun?
Tidak ada tulisan kuno di dalam makam Tutankhamun yang menyebutkan adanya kutukan. Namun, rasa ingin tahu masyarakat dan media telah terpicu. Ilmuwan bahkan ikut terlibat dalam pencarian jawaban.
Pada 1998, peneliti Sylvain Gandon dari Universitas Pierre dan Marie Curie di Paris mengajukan hipotesis bahwa kutukan tersebut bisa saja disebabkan oleh patogen yang sangat mematikan dan mampu bertahan hidup dalam jangka waktu sangat lama di dalam makam tertutup. Namun, temuan lebih modern membantah kemungkinan ini.
Penelitian pada tahun 2013 menemukan bahwa bintik-bintik cokelat di dinding makam bukan disebabkan oleh organisme aktif. “Organisme yang menciptakan bintik tersebut tidak aktif,” tulis para peneliti dalam International Biodeterioration & Biodegradation.
Mark Nelson, profesor epidemiologi dari Monash University di Australia, juga meneliti 25 orang yang terlibat dalam penggalian makam. Hasilnya mengejutkan: rata-rata mereka hidup hingga usia 70 tahun, usia yang cukup panjang pada pertengahan abad ke-20. “Tidak ada bukti yang mendukung keberadaan kutukan mumi,” simpul Nelson dalam publikasinya di British Medical Journal tahun 2002.
Baca juga: 5 Fakta tentang Firaun Tutankhamun, dari Kutukan hingga Inses
Sebenarnya, legenda tentang kutukan mumi sudah ada jauh sebelum makam Tutankhamun dibuka. Jasmine Day, antropolog budaya dan penulis buku The Mummy’s Curse: Mummymania in the English-Speaking World, mengungkap bahwa cerita ini berkembang sejak pertengahan abad ke-19, dipopulerkan oleh fiksi, film horor, hingga media massa.
“Saya menemukan cerita fiksi Amerika dari tahun 1860-an di mana petualang pria membuka kain pembungkus mumi wanita dan mencuri perhiasannya, lalu meninggal secara mengerikan,” kata Day. Menurutnya, tindakan membuka mumi dalam cerita-cerita tersebut disimbolkan sebagai metafora pemerkosaan—kritik terhadap kolonialisme dan perampokan warisan budaya Mesir.
Profesor Ronald Fritze dari Athens State University menambahkan bahwa kekaguman terhadap Mesir kuno sudah muncul sejak era Yunani-Romawi. “Orang-orang percaya Mesir adalah tanah yang penuh misteri dan sihir,” jelasnya.
Fenomena ini semakin menjadi ketika hiburan masyarakat kalangan atas pada abad ke-19 adalah menyaksikan pembukaan mumi secara langsung. Di era ini, cerita fiksi tentang kutukan mumi mulai merebak, termasuk novel The Jewel of the Seven Stars (1903) karya Bram Stoker, pencipta Dracula.
Baca juga: 160 Peti Mati Mesir Kuno, Beberapa Makam Mumi Disegel Kutukan
Saking kuatnya mitos ini, bahkan tenggelamnya Titanic tahun 1912 pun dikaitkan dengan kutukan mumi. Konon, mumi seorang pendeta wanita dari British Museum yang dibawa ke Amerika adalah biang keladinya. Meskipun kurator museum sudah membuat pamflet untuk membantah rumor itu, masyarakat tetap percaya dan bahkan mengirim uang agar dibelikan bunga untuk “menenangkan arwah sang pendeta.”
Setelah penemuan makam Tutankhamun, berita eksklusif yang hanya diberikan kepada The Times London membuat media lain marah. Mereka lalu menggulirkan cerita kutukan sebagai balas dendam. Arthur Weigall, mantan Egyptologist dan rival Carter, bahkan menyebarkan gagasan bahwa Carnarvon dibunuh oleh kutukan, meski ia sendiri tak percaya akan hal itu.
Ketertarikan masyarakat terhadap dunia gaib pasca Perang Dunia I, di mana banyak keluarga kehilangan orang yang dicintai, ikut mendorong kepercayaan terhadap komunikasi dengan alam baka. Bahkan Arthur Conan Doyle, pencipta Sherlock Holmes, mengklaim bahwa Carnarvon dibunuh oleh “spirit pelindung” makam.
Baca juga: Nyawa Melayang karena Kutukan Mumi, Benarkah Rumor Ini?
Keyakinan akan kutukan mumi masih hidup hingga kini. Saat sarkofagus berusia 2.000 tahun ditemukan di Alexandria tahun 2018, banyak yang khawatir bahwa membukanya akan melepaskan kutukan. Ketika kapal Ever Given menyumbat Terusan Suez pada 2021, orang-orang kembali menunjuk “kutukan mumi” sebagai penyebab—kebetulan beberapa mumi firaun memang sedang dipindahkan ke museum baru di Fustat.
“Orang ingin hidup ini punya makna dan tidak semata-mata acak,” kata Fritze. “Ketika agama formal tidak memberi cukup jawaban, banyak yang berpaling pada kepercayaan magis dan supranatural, termasuk kutukan.”
Apakah kutukan mumi benar adanya? Sains berkata tidak. Tapi kisah ini membuktikan satu hal: betapa kuatnya cerita bisa mempengaruhi pikiran manusia—bahkan hingga seabad lamanya.
Baca juga: Misteri Ritual Kebangkitan Osiris di Makam Raja Tutankhamun
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita 优游国际.com WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.