Oleh: Suherman*
BELAKANGAN ini ramai lagi para pakar dan politisi membicarakan kembali pentingnya masalah morilitas atau keadaban dalam dunia politik praktis atau politik kekuasaan.
Lontaran tersebut juga merupakan sebuah pengakuan bahwa memang politik kita tidak beradab. Semua merasakan bahwa dunia politik kita semakin hari semakin brutal dan banal.
Baca juga: Anak Muda Indonesia Desak Krisis Iklim Harus Jadi Prioritas Politik
Dunia politik adalah dunia yang sangat brutal, kejam, penuh intrik dan kemunafikan lebih dari dunia para mafia yang kadang masih menyisakan komitmen dan kesetiaan.
Sehingga secara nalar ada dua kemungkinan manusia yang berani memasukinya yaitu orang kuat atau orang gila.
Politik dinasti banyak menuai kritik tapi secara konsisten diterapkan oleh hampir semua partai politik, sehingga persis kerjaan.
Ketua partai adalah raja yang harus dipatuhi secara mutlak, anak, istri, kerabat sang ketua partai mendapat previlese untuk mendapatkan jabatan di partai maupun di perusahaan atau departemen.
Saking nyamannya duduk dalam jabatan banyak partai yang menginstruksiksan kepada kadernya supaya kursi partainya diparlemen “dicor”, artinya harus dipertahankan jangan sampai beralih pada partai lain bahkan pada kader lain.
Baca juga:
Di sisi lain, partai politik tidak ada bedanya dengan perusahaan yang tujuan utamanya adalah mendapatkan rente atau laba.
Politik uang (money politic) sudah menjadi norma karena cara itulah yang paling mudah untuk mempertahankan kursi kekuasaan.
Mendulang suara dengan cara menjual prestasi, simpati dan empati rakyat memerlukan kerja keras dan kerja cerdas, maka cara yang paling gampang adalah dengan membeli suara.
Persaingan antar-partai berjalan secara brutal, karena menganggap semua pertai adalah lawan yang harus dihabisi karena ancaman dalam perebutan sumber daya.
Para politisi bertengkar saling serang dengan memakai bahasa yang kasar. Rakyat setiap hari disuguhi dengan tontonan pengadilan para politisi, yang menjadi penegak hukum, yang semakin tidak memiliki rasa malu memainkan hukum atau melakukan perbuatan melawan hukum.
Rakyat semakin muak, mulas, dan akhirnya hilang rasa kepercayaan terhadap para elit dan pemimpin. Rasa frustrasi pada rakyat bisa dilihat dari bahasa pergaulan yang memperlihatkan semakin menipisnya modal sosial.
Pengamat media sosial dari luar menjuluki bangsa kita adalah bangsa yang paling brutal bahkan disebut iblis media sosial.
Perlunya keadaban politik dalam sistem demokrasi kita seperti sebuah kemustahilan, seperti ingin membuat rasa tawar air laut hanya dengan meludahinya.
Pesimisme ini timbul karena setiap hari kita menyaksikan kemunafikan yang dipertontonkan oleh para elit politik dan pemegang kekuasaan.
Baca juga:
Politisi dan para pejabat yang menduduki kursi empuk sudah tidak memiliki rasa malu mempertontonkan fasilitas yang didapat tanpa diimbangi dengan prestasi kerja dan ini adalah contoh yang kasat mata tidak adanya adab atau rasa malu.
Formulasi komunikasi para politisi adalah seperti ini: bila berkata ya berarti mungkin, bila berkata mungkin berat tidak, bila berkata tidak berarti bukan politisi.
Dan untuk pejabat berlaku formulasi seperti ini: bila pejabatan berkata A, sudah pasti maksud yang sebenarnya adalah bukan A.
Perlu kecerdasan tersendiri dalam membaca pesan-pesan para politisi dan pejabat, karena banyak makna tersembunyi di balik pernyataan formal atau di hadapan publik.
Rakyat semakin bingung dan linglung karena kehilangan relung nurani dan jarang merasakan sentuhan kasih sayang dari para pemimpin dan politisi.
Baca juga:
Ketulusan, keikhlasan, dan kemurian sudah hilang karena setiap hubungan dilandaskan pada kepentingan. Tidak ada lagi senyum dan tatapan mata persahabatan yang tulus.
Dunia terasa seperti hutan belantara yang buas dimana bisnis adalah persaingan, politik adalah muslihat, iklan adalah penipuan, informasi penuh dengan manipulasi, dan kerja sama berisi pengkhianatan; bahasa sosial adalah perundungan, konflik, dan perkelahian.
Para pemimpin seperti beradab padahal berbudaya primitif, rakyat merasa kesepian di tengah gempitanya pembangunan, merana di tengah keberlimpahan, merasa sendirian di tengah semakin padatnya penduduk, merasa sunyi di tengah keramaian.
Tidak ada lagi keakraban dengan teman sekerja, nurani sosial telah terbunuh dan terkubur dalam masyarakat sendiri, rasa putus asa dan irrasionalitas telah menjadi wabah yang tersebar di mana-mana.
Krisis moral hampir merata melanda kehidupan berbangsa, rasa malu sudah hilang dalam kamus pergaulan, gotong-royong semakin rempong, toleransi hanya basa-basi, persatuan dan kesatuan menjadi persekutuan, kebhinekaan menjadi sumber perpecahan.
Para maling, koruptor, dan penipu berlindung di balik regulasi dan konstitusi, dan disanjung dipuja-puji sebagai penyelamat negeri.
Itu semua terjadi karena sudah tidak ada lagi politisi dan pejabat yang memiliki jiwa kepahlawanan, pengusaha yang humanis, para akademisi dan ilmuwan yang jujur, serta para pemimpin agama dan sastrawan yang profetis.
Semua interaksi dan transaksi kehidupan berjalan karena dilandaskan pada materi.
Baca juga:
Pangkal dari semua tragedi di atas adalah karena negara dari rezim ke rezim melakukan pembangunan yang tidak integral hanya berorientasi kepada pembangun fisik.
Sepi abadi jiwa manusia terjadi karena yang dibangun adalah yang di luar manusia sedangkan yang di dalam manusia tidak tersentuh.
Perkembangan ilmu pengetahuan tentang materi atau benda mati begitu pesat, akan tetapi telah mengabaikan kehidupan.
Manusia telah mencapai penguasaan yang sempurna terhadap alam materi sebelum ia mengenali dirinya sendiri.
Hadiah mewah yang diberikan oleh ilmu pengetahuan meledak bagaikan tiupan badai yang melanda di saat kita terlalu bodoh untuk memanfaatkannya secara bijaksana.
Masyarakat yang dihasilkan oleh ilmu dan teknologi, sedang melakukan kesalahan yang sama seperti yang telah dilakukan oleh peradaban di zaman purbakala.
Masyarakat telah menciptakan kondisi kehidupan yang di dalamnya hidup itu sendiri justru menjadi sesuatu yang serba susah.
Di setiap tempat telah terjadi kemerosotan dalam hal kapasitas intelektual dan moral, terlebih di kalangan mereka yang bertanggung jawab atas urusan-urusan masyarakat umum.
Bangsa kita dibangun dengan tanpa pengetahuan mengenai hakikat manusia yang sesungguhnya, sehingga tak mempunyai tameng untuk berlindung dari lingkungan angkuh yang dibangun di sekitar mereka oleh ilmu pengetahuan.
Baca juga:
Kecemasan dan kesusahan masyarakat bersumber dari lembaga-lembaga politik, ekonomi, sosial, selain dari kelemahan mereka sendiri. Kesadaran moral bangsa telah hilang, maka semua struktur sosial lambat laun meluncur menuju ke arah kehancuran.
Padahal keindahan moral adalah landasan peradaban yang jauh melebihi ilmu pengetahuan, kesenian, dan ritus keagamaan. Banyak manusia yang menganggap tempat ibadah, semata-mata merupakan museum-museum untuk agama-agama yang sudah usang.
Kesadaran moral banyak diabaikan oleh masyarakat, dan terutama oleh para pejabat dan politisi, sehingga kedunguan terjadi di tengah-tangah kemajuan pengetahuan.
Dari gambaran di atas maka tidak heran apabila negara terjerat dalam problem-problem pelik tak terpecahkan, paralisis politik, kepemimpinan politik mediocre dengan wawasan ke depan yang dangkal, dan sangat kecilnya rasa kebersamaan disertai menggunungnya rasa permusuhan di mana-mana.
Masihkan kita beharap adanya keadaban politik?
Baca juga:
Suherman
Analis Data Ilmiah BRIN
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita 优游国际.com WhatsApp Channel : . Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.