KOMPAS.com - Ekonom senior, Chatib Basri, mengingatkan masyarakat tak perlu panik akan terjadi krisis ekonomi seperti 1998 meski nilai tukar rupiah melemah dalam beberapa waktu terakhir ini.
Nilai tukar rupiah saat ini hampir menyentuh angka Rp 17.000 terhadap dollar AS, seperti yang terjadi pada krisis 1998.
Meski begitu, menurut Chatib Basri, ada sejumlah faktor yang menunjukkan bahwa situasi ekonomi saat ini masih dapat dianggap stabil dibandingkan 1998.
Baca juga:
Chatib Basri menjelaskan, keadaan ekonomi Indonesia saat ini memiliki karakteristik yang berbeda secara mendasar dibandingkan saat krisis melanda pada 1998.
"(Kondisinya saat ini dengan '98) sangat berbeda, karena begini. Awal dari krisis '98 itu adalah karena interest rate domestik itu mahal, (yang) di luar murah," ujar Chatib dalam program Rosi 优游国际 TV, dikutip pada Jumat (11/4/2025).
"Jadi, orang pinjam uang dari luar, short term external borrowing, pinjam di sini, bikin proyeknya dalam rupiah, revenue-nya rupiah, utangnya dibayar (dalam) dollar," tuturnya.
Chatib menjelaskan bahwa penyebab awal krisis 1998 adalah tingginya suku bunga domestik yang tidak sebanding dengan suku bunga luar negeri.
"Pada saat itu, orang-orang meminjam dana dari luar negeri untuk proyek-proyek yang dibiayai dalam rupiah, tetapi utangnya harus dilunasi dalam dollar," jelasnya.
Ketika Bank Indonesia tiba-tiba melepaskan nilai tukar, banyak debitur tidak mampu membayar utang luar negeri mereka karena lonjakan nilai tukar yang drastis.
Kondisi ini mengakibatkan krisis di sektor perbankan, di mana rasio pinjaman bermasalah (non-performing loan/NPL) mencapai 27 persen.
Sebagai perbandingan, saat ini, NPL di Indonesia hanya berada di angka 4 persen, menunjukkan perbaikan yang signifikan.
Lebih jauh, Chatib, yang juga merupakan pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, menyebutkan bahwa inflasi pada tahun 1998 mencapai 60 persen akibat penurunan nilai rupiah.
"Saat itu, fenomena El Nino juga turut mempengaruhi," tuturnya.
Namun, jika dilihat dari kondisi saat ini, inflasi diperkirakan hanya berkisar antara 2 hingga 3 persen pada tahun 2025.
Di samping itu, suku bunga saat ini berada di kisaran 7 persen, jauh lebih rendah dibandingkan dengan suku bunga yang mencapai 80 persen pada tahun 1998, ketika inflasi sangat tinggi, yang menyebabkan banyak debitur tidak mampu membayar kembali pinjaman mereka.