KESUKSESAN film Jumbo yang dirilis pada akhir Maret 2025, menciptakan gelombang optimisme baru dalam industri film Indonesia, terutama di genre animasi yang selama ini dianggap kurang begitu menggugah pasar lokal.
Dalam waktu kurang dari satu bulan, Jumbo berhasil menembus angka lebih dari enam juta penonton dan meraih pendapatan yang diperkirakan mencapai Rp 240 miliar.
Angka tersebut bukan hanya mencatatkan rekor sebagai film animasi lokal paling laris sepanjang masa, tapi juga membuktikan bahwa film animasi Indonesia telah lahir dengan sangat mengagumkan.
Kisah dalam Jumbo yang menyentuh dan menginspirasi tampaknya menjadi salah satu kunci utama keberhasilannya.
Cerita tentang Don, seorang anak yatim piatu bertubuh besar yang sering diremehkan, berhasil menjalin koneksi emosional dengan penonton dari berbagai lapisan usia.
Baca juga: Spectatorship dan Dekomodifikasi Agama dalam Film Jumbo
Buku dongeng peninggalan orangtuanya menjadi jembatan menuju petualangan magis, mempertemukannya dengan karakter Meri, seorang peri kecil yang mengubah hidup Don.
Dari sana, penonton diajak menyusuri dunia imajinatif penuh pesan moral—tentang keberanian, kasih sayang, serta pentingnya percaya pada diri sendiri.
Namun, keberhasilan film ini tentu tidak semata-mata karena ceritanya yang menyentuh. Secara teknis, Jumbo adalah pencapaian monumental bagi dunia animasi Indonesia.
Dibuat selama lima tahun oleh lebih dari 420 pekerja kreatif dalam negeri, film ini menampilkan kualitas visual dan animasi yang sangat kompetitif.
Dengan biaya produksi yang dilaporkan mencapai Rp 40 miliar—angka yang fantastis untuk produksi lokal—Visinema Studios bersama Springboard dan Anami Films berhasil membuktikan bahwa investasi besar dalam animasi lokal bukanlah taruhan yang sia-sia.
Justru, film ini menjadi bukti bahwa ketika talenta lokal diberikan ruang, dukungan, dan waktu, mereka dapat menghasilkan karya berkelas dunia.
Yang membuat Jumbo lebih istimewa adalah penetrasi pasar internasionalnya. Film ini tidak hanya menjadi primadona di bioskop Indonesia, tetapi juga didistribusikan ke 17 negara, termasuk Malaysia, Singapura, Rusia, dan beberapa negara di Asia Tengah dan Eropa Timur.
Pencapaian ini menjadi penanda bahwa cerita dari Indonesia, dengan segala nuansa lokalnya, mampu diterima oleh audiens global.
Hal ini tentu membuka mata banyak pihak bahwa potensi ekspor budaya melalui animasi adalah jalan strategis yang harus ditempuh, apalagi di tengah derasnya arus globalisasi konten.
Baca juga: Cetak 6 Juta Penonton, Film Jumbo Jadi Film Lebaran 2025 Terlaris
Namun, pertanyaan yang lebih penting kini adalah: apakah kesuksesan Jumbo bisa menjadi fondasi bagi keberlanjutan produksi film animasi Indonesia ke depan? Apakah ini hanya "keberuntungan" sesaat, atau awal dari revolusi industri animasi di Tanah Air?