Ia pun berencana meningkatkan produksi energi AS, utamanya dengan mengeksploitasi bahan bakar fosil, karena menurutnya ongkos energi yang tinggi telah berdampak terhadap inflasi.
Selain itu, Trump yakin dapat menekan harga rumah melalui program pembangunan rumah di lahan negara serta dengan mendeportasi para imigran ilegal, yang disebutnya telah meningkatkan permintaan dan harga rumah-rumah di AS.
Trump sempat menyatakan akan mengenakan tarif 10 persen-20 persen pada sebagian besar produk impor.
Namun, menurut sejumlah ekonom, kebijakan semacam ini akan berujung pada kenaikan harga barang-barang, yang kemudian bakal ditanggung konsumen.
Baca juga:
China diperkirakan akan kena getahnya. Di periode kepemimpinannya dahulu, Trump memulai perang dagang dengan China. Kini, ia berencana mengenakan tarif 60 persen pada barang-barang yang diimpor dari China.
Trump bahkan berniat menghapus bertahap impor barang-barang esensial dari China dan merancang peraturan baru yang hanya membolehkan perusahaan-perusahaan AS untuk berinvestasi di China bila investasi itu menguntungkan AS.
Pada 2023, AS mengimpor barang-barang dari China dengan nilai mencapai 427 miliar dollar AS (sekitar Rp 6.775 triliun).
Jika Trump benar mengambil langkah ini, perang dagang AS-China diperkirakan akan kian intens, yang bakal berdampak pula pada ekonomi global.
Pencabutan hak warga AS untuk melakukan aborsi adalah salah satu pencapaian politik terbesar Trump di periode kepemimpinannya dahulu.
Namun, dalam kampanyenya untuk pemilu 2024, sikap Trump tak konsisten.
Saat menjadi presiden AS di periode 2017-2021, Trump mengangkat tiga hakim Mahkamah Agung sehingga berhasil membuat sayap konservatif Mahkamah Agung menjadi mayoritas.
Walhasil, Mahkamah Agung AS mencabut hak aborsi di tingkat federal pada 2022, meski hak itu telah berlaku sejak 1973, sejalan dengan agenda Trump.
Perubahan ini membawa sejumlah konsekuensi.
Saat ini, ada 14 negara bagian yang menerapkan larangan aborsi menyeluruh (atau hampir menyeluruh) dan tiga lainnya yang mengizinkan aborsi hanya bila usia kehamilan belum menyentuh minggu keenam.
Baca juga: Cerita Diaspora Indonesia Pilih Trump di Pilpres AS 2024, Sorot Isu Ekonomi
Di usia kehamilan itu, banyak perempuan biasanya belum sadar dirinya mengandung.
Imbasnya, sejumlah perempuan meninggal karena dokter tidak memberikan perawatan yang memadai saat mereka mengalami keguguran. Para dokter itu takut dituntut secara pidana bila melakukan intervensi.
Kebijakan ini lantas memancing reaksi keras terhadap Partai Republik. Ia beberapa kali kalah dalam pemilu sejak 2022, termasuk di tempat yang secara tradisional merupakan daerah pemilih konservatif. Sebagian besar pemilih menilai larangan aborsi yang ada sudah kelewatan.
Situasi ini memaksa Trump berubah sikap. Dalam kampanyenya untuk pemilu 2024, ia menepis dugaan ia bakal meneken larangan aborsi nasional bila terpilih kembali jadi presiden.
Dalam debat dengan Kamala Harris yang disiarkan televisi pada bulan September, Trump menegaskan tidak akan menandatangani larangan aborsi federal.
"(Alasannya, karena) tidak ada alasan untuk menandatangani larangan tersebut karena kami telah mendapatkan apa yang diinginkan semua orang," katanya.
Trump pun mengecam larangan aborsi setelah usia kehamilan mencapai enam minggu yang ada di Florida. Namun, di sisi lain, ia menentang inisiatif untuk memberlakukan hak aborsi di negara bagian tersebut.
Kebijakan isolasionis AS saat periode kepemimpinan pertama Trump yang memicu berbagai kontroversi tampaknya akan kembali saat dia menjabat presiden lagi.
"Saya melihat masa jabatan presiden Trump ditandai oleh isolasionisme dan unilateralisme yang tidak banyak menawarkan apa pun selain pendalaman ketidakstabilan global," kata Martin Griffiths, seorang mediator konflik veteran, yang hingga baru-baru ini menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Kemanusiaan dan Koordinator Bantuan Darurat.
Agenda 47, program pemerintahan yang dijanjikan Trump bila terpilih kembali, mencakup agenda untuk mencegah terjadinya Perang Dunia III dan untuk memulihkan perdamaian di Eropa dan Timur Tengah.
Baca juga: Trump Menang Pilpres AS 2024, Ini Gambaran 4 Kasus Hukumnya?
Mitra-mitra AS di Eropa tampak cemas dengan kemungkinan kembalinya Trump jadi presiden.
Ancaman Trump untuk meninggalkan Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) bergema di telinga dunia, kata Rose Gottemoeller, mantan wakil sekretaris jenderal NATO, pada BBC.
Keresahan lain utamanya adalah yang terkait dengan perang di Ukraina.
Trump sempat mengatakan Ukraina seharusnya mengalah pada Rusia. Dengan begitu, katanya, perang bisa dihindarkan.
Ia pun mengecam dukungan ekonomi dan militer yang diberikan AS pada Ukraina setelah invasi Rusia yang, menurutnya, berlebihan dan justru memperpanjang konflik alih-alih meredakannya.
Trump mengatakan jika dia yang jadi presiden, perang itu tidak akan terjadi. Dan, jika kembali berkuasa, ia mengeklaim akan mengakhiri perang dalam waktu 24 jam melalui perjanjian yang diteken bersama Rusia.
Namun, para pengkritik Trump berpendapat cara ini hanya akan memberi Vladimir Putin kekuatan yang lebih besar.