KOLOMBO, KOMPAS.com - Sri Lanka adalah negara di tengah gejolak; Presiden Gotabaya Rajapaksa akhirnya mengundurkan diri pada Kamis (15/7/2022) setelah melarikan diri dari Sri Lanka.
Pelaksana tugas (plt) presiden saat ini, Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe, mencoba menjalankan pemerintahan dari "lokasi yang aman" setelah kantornya diserbu dan kediaman pribadinya dibakar oleh pengunjuk rasa.
Wickremesinghe menerapkan jam malam dan memerintahkan militer untuk melakukan apapun yang diperlukan untuk mengembalikan ketertiban.
Pasokan bahan bakar, makanan, obat-obatan, dan kebutuhan pokok lain di Sri Lanka terbatas, membuat harga-harga membumbung tinggi.
Para pengunjuk rasa menyalahkan elite politik atas krisis yang terjadi di negara itu.
Berikut ini adalah sejumlah faktor yang memicu krisis ekonomi dan politik di Sri Lanka:
Baca juga: Presiden Sri Lanka Mundur, PM Ranil Wickremesinghe Dilantik jadi Plt Presiden
Kondisi ekonomi di negara pulau yang terletak di Samudra Hindia dengan jumlah penduduk sebanyak 22 juta jiwa itu dalam kondisi buruk selama beberapa waktu.
Menurut bank sentral Sri Lanka, angka inflasi tahunan di negara itu lebih dari 50 persen. Bahkan, inflasi pangan mencapai 80 persen.
Nilai tukar mata uang Sri Lanka, rupee, terjun bebas terhadap dollar AS. Ketika Gotabaya Rajapaksa menjabat sebagai presiden pada November 2019, nilai tukar rupee Sri Lanka terhadap dollar AS hanya 179 rupee. Kini nilai tukarnya mencapai 360 rupee.
Biaya transportasi juga naik dua kali lipat. Bahkan warga yang memiliki uang kesulitan membeli makanan dan bahan bakar karena minimnya pasokan di mana-mana.
Program Pangan Dunia menyebut lebih dari enam juta orang di Sri Lanka terancam tidak bisa memenuhi kebutuhan pangannya sehari-hari.
Baca juga: Presiden Sri Lanka Mundur, Pedemo Gembira: Rakyatlah Kekuatan Sesungguhnya
Perang di Ukraina telah memicu harga pangan dan bahan bakar melonjak tajam.
Untuk memenuhi pasokan bahak bakar, Sri Lanka sangat bergantung pada impor. Namun sejak awal tahun ini, negara itu kesulitan membayar biaya impor minyak dan gas.
Pada gilirannya, hal ini menyebabkan setiap sektor perekonomian Sri Lanka melambat.
Banyak warga Sri Lanka kini beralih menggunakan kayu bakar untuk memasak makanan mereka.
Kekurangan gas di negara itu begitu kronis sehingga beberapa krematorium berbahan bakar gas terpaksa ditutup.
Oleh sebab itu, jenazah orang yang meninggal kini dimakamkan—bukan hal yang biasa bagi warga Sri Lanka.
Pelemahan ekonomi global menyebabkan warga Sri Lanka yang tinggal di luar negeri mengirim lebih sedikit uang untuk menopang keluarga yang berjuang untuk bertahan di kampung halaman.