优游国际

Baca berita tanpa iklan.
Dion Efrijum Ginanto
Dosen

Pemerhati Pendidikan dan Dosen di UIN STS Jambi

Menyoal Sekolah Unggulan Garuda

优游国际.com - 14/01/2025, 12:02 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di
Editor

PEMERINTAH baru-baru ini berencana membangun sekolah unggulan yang akan mempersiapkan lulusannya melanjutkan studi ke perguruan tinggi top dunia.

Pemerintah bertekad menyelesaikan pembangunan 20 SMA Unggulan Garuda dan ditargetkan rampung pada 2029.

Ide pembangunan sekolah unggulan yang fokus pada prestasi akademik ini tentu menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Mulai dari potensi kecemburuan, memperlebar gap antarsekolah, hingga pada permasalahan nasionalisme.

Beberapa ahli dan pengamat pendidikan bahkan menilai kebijakan pembangunan sekolah unggulan ini sebagai kebijakan mundur dan rentan mengulang kesalahan masa lalu.

Sistem kebijakan zonasi (meskipun juga banyak mendapat kritikan) setidaknya telah berhasil mengangkat marwah sekolah-sekolah “non-favorit”. Pasalnya, sekolah dengan label “biasa” selalu mendapat peserta didik sisa saringan dari sekolah favorit.

Baca juga: Mengkritisi Wacana Pembangunan SMA Unggulan dan Sekolah Rakyat

Setelah adanya kebijakan zonasi, penyebaran murid berprestasi dan murid yang belum berprestasi sudah mulai merata antara satu sekolah dengan sekolah lain.

Guru-guru yang selama ini mengajar di sekolah yang tidak berlabel favorit, merasa sangat senang karena mendapat variasi input murid.

Sebaliknya, sekolah yang selama ini dianggap favorit, guru-gurunya banyak berteriak karena mendapat input yang tidak sama seperti biasanya.

Meskipun demikian, setelah beberapa tahun berjalan, guru-guru saat ini sudah mulai mampu beradaptasi dengan baik.

Dengan membangun sekolah unggul baru, tentu akan kembali menimbulkan kecemburuan antarguru, membuka gap antara sekolah biasa dan sekolah favorit.

Jika input peserta didiknya sudah bagus, guru akan cenderung mengajar dengan mudah. Mereka yang mengajar di sekolah unggul tentu akan sedikit mengalami drama seperti: murid bolos sekolah, murid merokok di kantin sekolah, atau murid yang harus diberi tambahan waktu untuk mengikuti remedial.

Tantangan mengajar di sekolah unggul tentu ada, tapi berbeda dengan sekolah-sekolah yang dikategorikan biasa-biasa saja.

Oleh karena itu, pemerintah perlu memikirkan kembali rencana pembangunan 20 sekolah unggul baru di Indonesia.

Berikut hal-hal yang barangkali perlu menjadi pertimbangan pemerintah, sebelum benar-benar memutuskan membangun SMA Unggulan Garuda.

Pertama, sekolah unggulan hanya untuk mereka yang berprestasi akademik?

"Jadi ini betul-betul upaya kami memberi ruang untuk teman-teman yang pintar, hebat, (sehingga) dapat pendidikan yang sesuai," (Prof. Satryo, dalam Tempo, 2025).

Pernyataan Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi ini perlu didalami lagi. Apakah yang dimaksud pintar dan hebat hanya untuk prestasi akademik saja?

Bagaimana dengan peserta didik yang hebat dalam bidang seni? Apakah tidak dikategorikan pintar? Atau bagaimana mereka yang mempunyai bakat olahraga? Apakah mereka tidak termasuk dalam kategori hebat?

Baca juga: Tinjauan Kritis Wacana Pembangunan Sekolah Rakyat

Jika dilihat dari berita-berita yang beredar serta pernyataan dari Mendiktisaintak serta Wamendiktisaintek, yang dimaksud pintar dan hebat ini mengerucut pada mereka yang berprestasi secara akademik.

Mendiktisaintek mengungkapkan bahwa sekolah unggulan diperuntukkan peserta didik dengan kecerdasan di atas rata-rata. Pasalnya, selama ini di Indonesia belum memberikan wadah yang tepat untuk siswa dengan kecerdasan tinggi.

Senada disampaikan Prof. Stella, Wakil Menteri, bahwa talenta-telenta muda tersebut disiapkan untuk dapat menguasai sains dan teknologi dengan sempurna (优游国际, 2024).

Dari argumen Menteri dan Wakil Mendiktisaintek tersebut, menjurus kepada kecerdasan akademik. Bukan untuk peserta didik yang mempunyai kecerdasan motorik seperti pada atlet-atlet olahraga, juga bukan pada kecerdasan seni, atau kecerdasan sosial lainnya.

Oleh karena itu, pemerintah seharusnya mempertimbangkan kembali apakah perlu juga memberikan akses untuk murid-murid yang mempunyai kecerdasan non-kognitif.

Sejatinya murid-murid cedas secara non-kognitif juga mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan sekolah unggulan.

Kedua, dilatih untuk bisa masuk ke perguruan tinggi kelas dunia?

Halaman:


Baca berita tanpa iklan.
Komentar
Baca berita tanpa iklan.
Close Ads
Penghargaan dan sertifikat:
Dapatkan informasi dan insight pilihan redaksi 优游国际.com
Network

Copyright 2008 - 2025 优游国际. All Rights Reserved.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses 优游国际.com
atau