KOMPAS.com - Proses Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025 sebagai pengganti Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) akan dimulai Mei 2025 mendatang.
Pada SPMB 2025 ini akan ada empat jalur yakni jalur domisili, prestasi, afirmasi dan, mutasi atau perpindahan orangtua.
Selain jalur domisili yang menyoroti perhatian karena menggantikan jalur zonasi pada PPDB, jalur prestasi pada SPMB juga menarik perhatian.
Sebab, pada SPMB 2025 jalur prestasi tidak lagi menggunakan nilai rapor tetapi menggunakan akan Tes Kemampuan Akademik (TKA).
"Jadi nanti jalur prestasi yang kita kembangkan itu tidak lagi menggunakan nilai rapor. Itu kemudian kami coba minimalkan dengan tes kemampuan akademik," kata Mu'ti dikutip dari 优游国际.com, Jumat (11/4/2025).
Jalur prestasi tidak gunakan nilai rapor
Mu'ti menjelaskan, tidak lagi digunakannya nilai rapor pada jalur SPMB 2025 disebabkan banyaknya guru yang sering melakukan penambahan atau mark up nilai siswa. Sehingga, nilai dalam rapor tidak memperlihatkan kemampuan siswa yang sebenarnya.
"Karena, mohon maaf ya, banyak masyarakat yang mempersoalkan validitas dari nilai rapor. Karena banyak yang guru-guru itu karena baik hati, jadi sedekah nilai kepada muridnya. Harusnya 6, dinilai 8. Harusnya 8, dinilai 10," ujarnya.
Kendati demikian, Mu'ti menegaskan TKA nantinya tidak wajib diikuti oleh siswa baik di tingkat SD ataupun SMA.
Dia mengatakan, TKA hanya diperuntukkan bagi siswa yang ingin memiliki kesempatan lebih ketika ingin melanjutkan pendidikannya salah satunya melalui seleksi jalur prestasi.
"Jadi dia untuk ikut itu tidak harus. Tapi kalau dia tidak ikut otomatis dia tidak punya nilai individual," ungkapnya.
Mu'ti juga mengatakan, salah satu alasan tidak diwajibkannya TKA karena selama ini banyak masyarakat yang menilai ujian akhir sebagai pemicu stres. Oleh karena itu, ia menyarankan bagi siswa yang nantinya berpotensi stres tidak perlu mengikuti TKA.
"Kalau dulu diwajibkan dia stres karena wajib. Ini karena tidak wajib. Ya sudah kalau kira-kira dia stres ya jangan ikut. Tapi kalau mau dia siap mental dan ingin untuk misalnya melanjutkan ke jenjang di atasnya dan bisa punya peluang untuk belajar yang lebih tinggi lagi ya ikut (TKA)," jelas dia.
Krisis kepercayaan guru
Menanggapi hal tersebut, Koordinator Nasional Jaringan Pengamat Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji, menyatakan bahwa pernyataan Mendikdasmen ini memicu 3 masalah serius dalam sistem pendidikan di Indonesia.
1. Generalisasi yang tidak adil
Kebijakan ini menggeneralisasi bahwa semua guru melakukan manipulasi nilai. Padahal banyak pendidik yang telah bekerja keras menilai siswa secara jujur dan profesional.
“Ini seperti menghukum semua guru karena kesalahan segelintir oknum,” tegas Ubaid.
2. Mengikis Otonomi dan Kredibilitas Guru
Penghapusan nilai rapor dari proses SPMB mengirim pesan bahwa penilaian guru tidak dianggap valid. Padahal, rapor adalah hasil dari proses belajar mengajar harian yang holistik.
“Jika pemerintah tidak lagi percaya pada guru dan sistem sekolah, mau di bawah kemana arah pendidikan di Indonesia? Bagaimana nasib anak-anak yang sedang belajar di sebuah institusi yang dianggap rusak dan tidak dapat dipercaya oleh pemerintah” tanya Ubaid.
3. Solusi instan yang tidak menyelesaikan masalah
Alih-alih memperbaiki sistem penilaian di sekolah (misalnya melalui pelatihan guru, audit independen, atau sanksi tegas bagi pelaku mark-up, pemerintah justru memilih kebijakan reaktif yang berpotensi merusak ekosistem pendidikan.
Butuh pengawasan, bukan ganti kebijakan
Selain itu, JPPI mendesak Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah untuk segera mencabut kebijakan penghapusan nilai rapor dalam jalur prestasi pada SPMB 2025
JPPI juga mendesak pengembangan sistem verifikasi nilai rapor yang lebih transparan dan akuntabel, misalnya dengan memperkuat pengawasan internal dan eksternal dengan melibatkan partisipasi orang tua murid dan masyarakat.
Audit rutin oleh lembaga independen yang memiliki kredibilitas juga harus dilakukan untuk memastikan bahwa setiap data nilai yang tercatat dapat dipertanggungjawabkan dengan baik.
Lebih lanjut, JPPI mendesak agar Kemendikdasmen menjatuhkan sanksi tegas bagi sekolah dan guru yang terbukti melakukan manipulasi nilai.
Tindakan manipulasi nilai rapor bukan hanya merusak kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan, tetapi juga merugikan siswa yang berusaha keras untuk meraih prestasi secara jujur dan adil.
JPPI juga mendesak agar upaya untuk memulihkan dan menguatkan kembali kepercayaan publik terhadap guru dan sekolah segera dilaksanakan.
“Pendidikan adalah tentang membangun integritas dan kepercayaan, bukan sekadar membuat prestasi untuk kepentingan seleksi. Kebijakan penghapusan nilai rapor ini jika diteruskan justru merusak fondasi tersebut. Kami mendorong dialog terbuka antara Kemendikdasmen, guru, pihak sekolah dan masyarakat untuk mencari solusi yang lebih adil, dan tidak meruntuhkan kepercayaan public terhadap sekolah,” pungkas Ubaid.
Terlalu fokus jalur prestasi
Berbeda dengan Ubaid, Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) menilai SPMB 2025 lebih fokus untuk mengakomodasi siswa yang berprestasi atau meritokrasi.
Menurut Direktur Eksekutif PSPK Nisa Felicia, hal itu terlihat dari meningkatnya persentase kuota jalur prestasi pada SPMB 2025.
"Perubahan ini mengisyaratkan bahwa dibandingkan sebelumnya, pemerintah saat ini lebih mementingkan meritokrasi," kata Nisa dikutip dari keterangan tertulis, Senin (10/3/2025).
Nisa menjelaskan, pada sistem sebelumnya yakni PPDB, jalur prestasi dibuka setelah pemerintah daerah menetapkan kuota jalur lainnya.
Sementara pada kebijakan baru mengatur kuota minimal 25 persen untuk jenjang SMP dan 30 persen untuk SMA.
"Jalur domisili dan prestasi di jenjang SMA bahkan memiliki kuota minimal yang sama, yakni 30 persen," ujarnya.
Nisa menuturkan, dalam kebijakan sebelumnya, jalur zonasi yang sekarang bernama domisili dengan kuota minimal 50 persen telah berkontribusi menurunkan kesenjangan hasil belajar antarsekolah.
Oleh karena itu, PSPK berharap pemerintah daerah menetapkan kuota jalur domisili yang lebih besar dari kuota jalur prestasi.
"Penggunaan jarak sebagai kriteria dalam jalur domisili dapat membuka kesempatan bagi semua anak dari berbagai latar belakang. Termasuk kelompok murid yang berprestasi maupun yang kurang berprestasi, untuk menempuh pendidikan di sekolah negeri," ucap dia.
/edu/read/2025/04/21/142343271/spmb-2025-jalur-prestasi-tak-gunakan-rapor-bisa-munculkan-3-masalah-ini