优游国际

Baca berita tanpa iklan.
Salin Artikel

Kisah Titiek Puspa, Naik Kereta Api ke Sekolah dan Juara Lomba Menyanyi Saat SMP

Kepergian Titiek Puspa meninggalkan kesedihan yang mendalam di belantika musik dan film Indonesia. 

Sosok Titiek Puspa yang konsisten memberikan sumbangsih kepada dunia seni musik dan film Indonesia mendapat penghargaan dari penerintah Republik Indonesia berupa Anugerah Tanda Satya Lencana Wira Karya dari Presiden Suharto pada tahun 1997.

Perempuan yang memiliki nama Sudarwati, pemberian dari orangtua, itu pun sudah memiliki bakat olah vokal semenjak masa sekolah.

Sebagai anak yang hidupnya berpindah-pindah, Titiek Puspa diketahui lahir di Tabalong, Kalimantan Selatan, pada 1 November 1937.

Ayahnya adalah Tugeno Puspowidjojo, dan ibunya adalah Siti Mariam. Meski lahir di tanah Borneo, darah Jawa mengalir di tubuh Titiek Puspa.

Ayahnya berasal dari Kutoarjo, Jawa Tengah. Ibunya berasal dari Trenggalek, Jawa Timur.

Tekanan Militer Jepang dan Hijrah

Dari Surabaya, Tugeno dan Siti Mariam memboyong ketiga anaknya yaitu Sri Sumaryati, Soemarno Poespowidjojo, dan Sumartuti ke Kalimantan Selatan. Di sana lah, putri tercinta Tugeno dan Siti Mariam lahir pada tahun 1937.

Pekerjaan Tugeno sebagai mantri atau juga dikenal sebagai tenaga medis pun kembali membawa Titiek Puspa melanglang buana. 

Dirangkum dari jurnal Historiografi berjudul "Menjadi Penyanyi Istana Negara: Biografi Titiek Puspa" karya Rafngi Mufidah dan Dhanang Respati Puguh, Titiek Puspa hijrah dari Kalimantan Selatan ke Semarang karena ayahnya mendapatkan pekerjaan di Centraal Burgerlijke
Ziekenhuiz (sekarang menjadi Rumah Sakit Umum Pusat dr. Kariadi).

Selama di Semarang, Tugeno dan keluarganya tinggal di Lempongsari, sebuah pemukiman padat penduduk di kawasan Gergaji. Seperti penduduk Lempongsari pada umumnya, Sudarwati dan ketiga kakaknya dibesarkan di sebuah rumah semipermanen.

Pekerjaan Tugeno di Semarang terbilang cukup baik. Gajinya lebih dari cukup untuk menghidupi istri dan anak-anaknya.

Akan tetapi, keadaan berubah ketika Jepang menduduki Jawa pada tahun 1942. Dalam sebuah wawancara, Titiek Puspa mengaku keluarganya harus merasakan kesengsaraan yang luar biasa akibat kebijakan Militer Jepang yaitu soal pendistribusian beras.

Di bawah kekhawatiran tekanan karena tindakan militer Jepang yang seringkali tak terduga membuat Tugeno membawa keluarganya hijrah ke Kutoarjo.

Di Kutoarjo, ayah Titiek Puspa tak mendapatkan pekerjaan. Akhirnya, Tugeno mengarahkan kompas kehidupan keluarganya ke Ambarawa, Jawa Tengah.

Pada masa masa perjuangan bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaannya yang baru saja diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, Tugeno dan keluarganya kembali terpaksa harus pindah.

Mereka kemudian memutuskan untuk menetap di Kranggan, Temanggung. Di sanalah, pendidikan Titiek Puspa kembali berlanjut.

Pergi ke Sekolah Naik Kereta Api 

Pendidikan Titiek Puspa lantas kembali berlanjut setelah terhenti karena beberapa kali harus hijrah dari satu kota ke kota lainnya. Ia masuk ke sebuah sekolah dasar di Temanggung dan sempat mengenyam pendidikan dari kelas dua sampai kelas empat.

Tugeno dan Mariam adalah orang tua yang sangat memerhatikan pendidikan putra-
putrinya. Mereka tidak ingin anak-anaknya hidup sengsara karena tidak mendapatkan
pendidikan yang baik.

Akhirnya, Tugeno memutuskan untuk mengirim Titiek Puspa ke Magelang. Hal ini ia lakukan agar Titiek Puspa mendapatkan sekolah yang lebih baik.

Tugeno mendaftarkan Sudarwati di SD Pendowo Magelang. Perjalanan yang cukup jauh,
yaitu; dari Kranggan ke Magelang harus ia tempuh setiap hari.

Sudarwati kecil berangkat ke Magelang setiap pagi dan pulang ke Kranggan menjelang sore. Perjalanan tersebut ia tempuh dengan menggunakan jasa transportasi kereta api.

Perjalanan pergi dan pulang sekolah naik kereta api dikenang menjadi “perjumpaan” Sudarwati dengan bakat menyanyinya.

Titiek Puspa dan kereta api punya ikatan sejarah yang kuat yang ia anggap sebagai penentu bagi jalan hidupnya kelak. Pengalaman itu ia dapatkan dalam perjalanan pulang dari Magelang ke Kranggan.

Pada suatu sore, semua penumpang di kereta tampak sangat lelah. Mereka
memejamkan mata mereka sekadar untuk mengalihkan pikiran dari kebisingan yang berasal
dari suara mesin, cerobong asap, dan gesekan roda-roda kereta.

Titiek Puspa yang juga didera rasa lelah kemudian ikut memejamkan mata. Ia kemudian merasakan sesuatu yang sangat misterius.

Saat mulai memejamkan mata,  mendengar sesuatu yang menggetarkan hati. Suara
jes-jes dan bunyi asap yang keluar dari selongsong terdengar seperti nada. Deru mesin yang
mendengung justru ikut serta menjadi instrumen. Sudarwati merasa ada konser rahasia yang
sedang digelar di dalam kereta. Perlahan-lahan, ia mulai bersenandung.

Pada hari-hari berikutnya, ketika pulang dari Magelang, Sudarwati tidak pernah duduk
di bangku. Ia lebih memilih duduk di tangga yang terletak di batas gerbong. Menurut Titiek Puspa, “konser rahasia”nya di dalam kereta akan menjadi sempurna jika dipadukan dengan alam.

Ia akan bersenandung sepanjang perjalanan pulang. Sejak mengalami kejadian misterius itu,
Sudarwati menjadi sering bersenandung. Setiap kali hatinya gelisah, ia akan bersenandung dan
kegelisahan akan segera hilang dari dalam batinnya.

Setahun kemudian, Tugeno menitipkan Sudarwati kepada salah seorang saudara yang
kebetulan tinggal di Magelang. Keputusan tersebut diambil mengingat Sudarwati masih terlalu
kecil untuk menempuh perjalanan jauh setiap hari.

Selama di Magelang, Sudarwati tinggal di rumah Budhe Kus. Selama tiga tahun Sudarwati menghabiskan waktunya di Magelang, yaitu dari kelas lima SD sampai kelas satu sekolah menengah pertama (SMP).

Pesta Kenaikan Kelas dan Lomba Menyanyi

Pada 1952, Tugeno memindahkan Sudarwati ke Semarang. Ia memindahkan putrinya ke sekolah yang dianggap lebih berkualitas. Sekolah tersebut bernama SMP Ganesha.

Sebelum pindah ke Semarang, Titiek Puspa yang beranjak masa remaja diminta untuk bernyanyi di acara pesta kenaikan kelas. Pentas tersebut adalah kali pertama Titiek Puspa bernyanyi di panggung.

Ia sangat gugup dan canggung. Namun ternyata, sesuatu yang tidak pernah ia duga terjadi. Murid-murid berlari mendekati panggung saat ia mulai menyanyikan lagu Angin Menderu. Titiek Puspa tentu sangat terkejut.

Ia tidak menyangka suara yang menurutnya biasa saja ternyata dapat menggemparkan semua orang yang ada di sekolah. Kejadian tersebut cukup memberinya alasan untuk terus
bernyanyi, selayaknya bintang panggung.

Pengalaman bernyanyi di pesta kenaikan kelas rupanya telah menciptakan semangat baru
di batin Titiek Puspa. Ia membawa kenangan indah itu sampai di Semarang.

Titiek Puspa semakin senang bernyanyi. Pelajaran seni ia ikuti dengan antusias. Setiap kali ditunjuk untuk bernyanyi di depan kelas, ada perasaan aneh yang menyelimuti batinnya. Ia merasa seperti didaulat oleh dewa-dewa untuk bersenandung di tengah atmosfer yang indah.

Kabar tentang suara merdu Titiek Puspa segera tersebar. Hal itu juga menarik perhatian Kepala Sekolah SMP Ganesha.

Ia kemudian ditunjuk menjadi perwakilan sekolah pada perlombaan menyanyi antarpelajar se-
Kota Semarang. Awalnya, Titiek Puspa ragu karena ayahnya sempat melarangnya bernyanyi.

Menurut Tugeno, menjadi penyanyi bukanlah tujuannya menyekolahkan putra-putrinya.
Apalagi, bagi seorang wanita, profesi penyanyi pada saat itu masih tabu dan dianggap tidak
terhormat.

Titiek Puspa akhirnya memberanikan diri untuk tampil mewakili SMP Ganesha setelah
dibujuk oleh sahabatnya yang bernama Yayuk. Selain karena dorongan dari Yayuk, keputusan
tersebut juga diambil karena ia telah mendapatkan restu dari sang ayah.

Tugeno menunjukkan sikap yang sangat bijaksana sebagai seorang ayah. Ia memperbolehkan putrinya bernyanyi, sepanjang kegiatan tersebut dilakukan untuk kepentingan sekolah.

Ia tidak menampik kenyataan bahwa menjadi satu-satunya perwakilan sekolah untuk mengikuti sebuah perlombaan adalah suatu prestasi yang membanggakan.

Sudarwati tampil di sebuah gedung pendidikan milik pemerintah pada 1953. Ia menjadi
peserta pada acara Pekan Olahraga dan Kesenian Sekolah Lanjutan Atas (Porskala).

Suara merdunya benar-benar berhasil membuat semua penonton termasuk guru dan teman-temannya terpukau. Semua penonton berdiri dan bertepuk tangan setelah Titiek Puspa selesai bernyanyi.

Reaksi tersebut tentu membuat jiwa Titiek Puspa melayang seketika.

Awal Mula Nama Titiek Puspa

Hari itu, sekali lagi keajaiban yang memantik jiwanya untuk terus bernyanyi terjadi. Juri mengumumkan nama Sudarwati sebagai juara.

Ia pun pulang dengan membawa sebuah piala kemenangan. Setelah berhasil membawa pulang piala pada Porskala, teman-teman Sudarwati terutama Yayuk terus mendukungnya untuk mengikuti kontes bernyanyi di luar sekolah.

Pada awalnya Sudarwati menolak tawaran tersebut karena takut dengan reaksi ayahnya. Namun, Yayuk kemudian membuatkan nama samaran untuk Sudarwati. Adapun nama yang dibuat adalah gabungan antara nama panggilan Sudarwati dengan nama belakang Tugeno.

Nama panggilan Sudarwati adalah Titiek dan nama belakang ayahnya adalah Puspowidjoyo. Yayuk menggabungnya menjadi “Titiek Puspo”. Sudarwati sedikit keberatan dengan nama “Puspo” karena terdengar sangat Jawa.

Kedua sahabat itu akhirnya sepakat untuk mengganti nama “Puspo” menjadi “Puspa”. Sejak saat itu, tepatnya pada 1953, Sudarwati mulai tampil sebagai Titiek Puspa.

/edu/read/2025/04/10/192514271/kisah-titiek-puspa-naik-kereta-api-ke-sekolah-dan-juara-lomba-menyanyi-saat

Baca berita tanpa iklan.

Terpopuler

1
2
3
4
5
Baca berita tanpa iklan.
Baca berita tanpa iklan.
Close Ads
Penghargaan dan sertifikat:
Dapatkan informasi dan insight pilihan redaksi 优游国际.com
Network

Copyright 2008 - 2025 优游国际. All Rights Reserved.

Bagikan artikel ini melalui
Oke