KOMPAS.com - Sejak awal, masyarakat Tionghoa di Indonesia beragama Islam hidup berdampingan dengan masyarakat lokal.
Namun, kolonialisme dan perebutan kekuasaan membuat keberadaan mereka terpinggirkan.
Masyarakat Tionghoa yang datang ke Pulau Jawa mulanya adalah pedagang. Secara bertahap, mereka menetap dan bermukim di sepanjang pantai utara Jawa dan Sumatra.
Baca juga:
Dikutip dari jurnal yang ditulis Sumanto al-Qurtuby berjudul "" kedatangan masyarakat Tionghoa ke Indonesia diperkirakan sudah terjadi sebelum abad ke-6.
Kendati demikian sampai abad ke-13, tidak ada keterangan sejarah mengenai kehidupan masyarakat Tionghoa yang memeluk agama Islam di Indonesia.
Sampai akhirnya, Haji Ma Huan yang turut menemani ekspedisi Laksamana Cheng Ho menulis laporan mengenai keberadaan mereka.
Laksamana Cheng Ho merupakan kasim muslim, yang menjadi orang kepercayaan Kaisar Yongle, kaisar ketiga Dinasti Ming.
Cheng Ho diperintahkan untuk menjelajah pada tahun 1400-an ke 37 negara, termasuk Indonesia.
Dalam laporannya, Ma Huan menulis bahwa terdapat masyarakat muslim Tionghoa yang datang ke Jawa.
Masyarakat Tionghoa tidak hanya terkonsentrasi di kota atau pelabuhan, tetapi juga di desa-desa. Mereka menjalin hubungan baik tanpa konflik serius.
Dikutip dari China Muslim dan Runtuhnya Republik Bisnis (2012), masyarakat Tionghoa kala itu terbagi dua kelompok, yakni yang memeluk agama Islam dan memegang kepercayaan leluhur.
Permukiman dua kelompok itu pun menyesuaikan kenyamanan dan kemudahan akses beribadah.
Baca juga:
Contohnya di Banten, masyarakat Tionghoa yang memeluk kepercayaan leluhur tinggal di pemukiman yang lebih eksklusif.
Sementara, muslim Tionghoa hidup berbaur dengan penduduk lokal agar lebih mudah beribadah.
Muslim Tionghoa banyak yang bekerja sebagai syahbandar, pemungut cukai di pelabuhan, atau pengatur lalu lintas kapal yang bekerja untuk perusahaan.