KOMPAS.com - Anggota DPR RI Dedi Mulyadi menilai hukuman penjara seumur hidup yang dijatuhkan pada Herry cukup memuaskan bagi masyarakat, meskipun mayoritas masyarakat tetap berharap Herry dihukum mati.
“Kita lihat ini cerminkan keadilan meskipun tak sesuai harapan agar dihukum mati dan kebiri kimia. Sehingga tidak ada lagi kasus serupa yang menimpa anak di bawah umur,” ujar Dedi Mulyadi dilansir 优游国际.com, Selasa (16/2/2022).
Namun demikian, Dedi menilai vonis tinggi tersebut terbilang baru untuk sebuah kasus pemerkosaan, apalagi korbannya masih di bawah umur.
“Vonis seumur hidup untuk sebuah kasus pemerkosaan adalah hal baru. Apalagi ini menyangkut anak di bawah umur dan dia menggunakan simbol agama sebagai upaya manipulasi kejahatan yang dilakukan. Sehingga vonis ini mencerminkan keadilan,” ucapnya.
Selain soal vonis, Dedi juga berharap ada keadilan bagi para korban. Korban harus mendapatkan rehabilitasi dan difasilitasi agar bisa menatap masa depan yang lebih baik.
“Korban ini harus dijamin haknya seperti misal kembali sekolah persamaan atau mengikuti pelatihan yang mengarah pada profesionalisme mereka agar bisa hidup layak di tengah masyarakat,” katanya.
Seperti diketahui Kang Dedi telah menemui keluarga dan beberapa anak yang menjadi korban pemerkosaan Herry Wirawan. Saat ini beberapa korban telah diangkat menjadi anak asuh Kang Dedi Mulyadi.
“Walaupun tidak semuanya (korban jadi anak angkat), saya ikut di dalamnya (membangun masa depan korban),” ujar Kang Dedi.
Saat kembali disinggung soal vonis Herry Wirawan, Dedi mengatakan hal tersebut telah menjadi pertimbangan hakim yang mencerminkan keadilan di masyarakat.
“Walaupun keinginan masyarakat itu pasti hukuman mati dan kebiri kimia. Tapi kalau hakim memvonis seumur hidup, ya itu mirip-mirip lah,” ujar Kang Dedi Mulyadi.
Seperti diketahui, Herry Wirawan divonis penjara seumur hidup karena terbukti memperkosa 13 santriwati yang beberapa korbannya hamil dan melahirkan.
Terdakwa terbukti melanggar Pasal 81 ayat 1 dan ayat 5 jo Pasal 76 D Undang-undang Nomo 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Jo Pasal 65 ayat 1 KUHP.
Terdakwa juga dilarang bertemu korban apa pun alasannya.
Hakim tidak melihat hal yang meringankan atas tindakan Herry.
Sementara hal yang memberatkan hukuman Herry adalah perbuatannya sudah merusak perkembangan dan fungsi otak anak, dan mengakibatnya korban trauma.