ÓÅÓιú¼Ê

Baca berita tanpa iklan.
Muhammad Afif
Hakim, Akademisi, dan Peneliti

Penulis meraih gelar Doktor Hukum dari Universitas Andalas dan saat ini berkiprah sebagai Hakim dari Peradilan Tata Usaha Negara, serta aktif sebagai akademisi dan peneliti. Selain itu, penulis juga merupakan anggota Editorial Board Journal of Social Politics and Humanities (JSPH). Tulisan yang disampaikan adalah pendapat pribadi berdasarkan penelitian, dan tidak mewakili pandangan institusi.

Pergub Poligami, Tepatkah?

ÓÅÓιú¼Ê.com - 27/01/2025, 16:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di
Editor

PEMERINTAH Provinsi DKI Jakarta baru-baru ini menerbitkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 2 Tahun 2025 yang mengatur tata cara pemberian izin perkawinan dan perceraian, termasuk memberikan izin kepada Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk berpoligami.

Kebijakan ini memicu perdebatan, terutama mengenai relevansinya dalam masyarakat modern dan keberagaman Indonesia. Lantas, apakah aturan ini tepat diterapkan?

Poligami dalam perspektif agama

Poligami adalah isu yang memiliki dasar hukum yang jelas dalam Islam, sebagaimana diatur dalam Al-Qur'an, Surat An-Nisa' ayat 3. Ayat ini memperbolehkan laki-laki menikah lebih dari satu perempuan dengan syarat mampu berlaku adil.

Baca juga:

Keberlakuan adil tersebut bukan hanya sekadar materi, tetapi juga mencakup aspek emosional dan spiritual, yang pada praktiknya sulit untuk dipenuhi.

Ini menjadikan poligami lebih sebagai opsi dengan tanggung jawab besar, bukan sekadar hak yang bisa diambil sembarangan.

Dalam hukum nasional, Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur pelaksanaan poligami. Pasal 4 KHI memperbolehkan poligami dengan syarat keadilan yang dapat dibuktikan di pengadilan.

Meskipun Al-Qur'an tidak menetapkan batasan jumlah istri secara eksplisit, KHI memberikan kerangka hukum untuk menghindari penyalahgunaan poligami.

KHI juga mensyaratkan izin Pengadilan Agama (Pasal 5) dan persetujuan istri pertama, untuk memastikan keadilan bagi semua pihak.

Selain itu, Pasal 31 hingga Pasal 33 KHI memberikan perlindungan bagi perempuan, menjamin hak-hak mereka dalam pernikahan, dan memastikan keadilan dalam praktik poligami.

Selain itu, menggeneralisasi aturan perkawinan tanpa mempertimbangkan aturan agama dalam negara multikultural tentu tidak bijaksana.

Negara harus memastikan bahwa keberagaman dihormati dan tidak memaksakan aturan terkait keyakinan kepada masyarakat dengan keyakinan berbeda.

Prinsip ini sejalan dengan nilai-nilai Pancasila, khususnya sila pertama dan ketiga, yang menekankan pentingnya keberagaman dalam persatuan.

Poligami, zina, dan fenomena sosial

Dalam konteks Islam, perkawinan sejatinya tidak terbatas pada persoalan poligami dan monogami saja. Namun juga melingkupi hal sensitif lain, seperti zina.

Dalam Islam, poligami dan zina adalah dua konsep yang memiliki aturan yang sangat jelas. Poligami diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu, sementara zina dalam bentuk apapun dianggap sebagai pelanggaran berat.

Baca juga:

Namun, realitas menunjukkan adanya fenomena yang bertolak belakang. Poligami sering kali diperdebatkan dan mendapat stigma negatif. Sedangkan zina, yang jelas-jelas dilarang, kadang dianggap sebagai bagian dari kebebasan individu.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan.
Baca berita tanpa iklan.
Komentar
Baca berita tanpa iklan.
Close Ads
Penghargaan dan sertifikat:
Dapatkan informasi dan insight pilihan redaksi ÓÅÓιú¼Ê.com
Network

Copyright 2008 - 2025 ÓÅÓιú¼Ê. All Rights Reserved.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses ÓÅÓιú¼Ê.com
atau