BARU-baru ini viral personel patroli dan pengawalan (patwal) yang sedang mengawal mobil berplat RI 36 secara arogan menunjuk-nunjuk pengemudi mobil taxi Alphard.
Butuh beberapa hari sampai warganet mengetahui bahwa mobl tersebut adalah mobil dinas salah satu utusan khusus presiden.
Pandangan seperti ini sebenarnya sudah jadi “makanan” sehari-hari pengendara mobil di Jakarta. Ketika jalan raya dipenuhi oleh deru mesin dan derita kemacetan, mobil pejabat meluncur mulus.
Ditemani sirene nyaring, lampu strobo dan barisan patwal yang gagah, mobil pejabat dan mobil plat dinas bertanda bintang menjadi lambang eksklusivitas yang membuat pengguna jalan lainnya harus menyingkir.
Baca juga: Raffi Ahmad Terima Kasih Dapat Arahan Langsung Mayor Teddy soal Patwal Mobil RI 36
Patwal, yang dulu disebut voorijder, kini menjadi aktor penting dalam drama sosial kita di kemacetan jalan. Pertunjukan yang absurd, di mana pejabat menikmati prioritas atas rakyat yang justru menggaji mereka.
Pasal 134 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, juga Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 Pasal 65 mengatur tentang prioritas pengguna jalan dan di dalamnya memuat aturan tentang tugas patwal.
Aturan yang kemudian seolah menjadi tradisi ini berakar dari masa penjajahan, ketika “meneer Londo” (Belanda) menganggap diri mereka lebih mulia daripada “inlander” atau kaum pribumi.
Saat itu, rakyat harus minggir karena meneer lebih berhak menikmati jalanan bebas hambatan. Ironisnya, setelah 78 tahun merdeka, warisan ini tetap dilestarikan.
Apa yang membuat para pejabat ini merasa harus dikawal seperti meneer Londo? Tentu kita memahami keamanan bagi presiden dan wakil presiden.
Kita semua sepakat bahwa presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan membutuhkan perlindungan ekstra.
Baca juga:
Namun, apa yang terjadi ketika hampir semua pejabat merasa bahwa mereka juga layak mendapat pengawalan khusus?
Kita juga memahami apabila patwal, sirene, dan strobe ini “berkuasa” pada saat keadaan darurat, seperti situasi perang, bencana dan untuk ambulance. Namun, pergi dan pulang kerja bukanlah situasi darurat yang membuat setiap perjalanan pejabat menjadi prioritas nasional.
Patwal untuk kendaraan pejabat bukanlah sekadar pengawalan lalu lintas; mereka adalah simbol ketidakadilan yang terus berlangsung.
Gaji, kendaraan dan bahan bakar kendaraan mereka, hingga suara sirene yang memekakkan telinga itu dibiayai oleh rakyat melalui pajak.
Sebagai gambaran, pada tahun 2025, kontribusi pajak diproyeksikan mencapai Rp 2.490,9 triliun dari total APBN Rp 3.005,1 triliun.