KOMPAS.com - Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah lembaga negara yang diberikan kekuasaan kehakiman sebagaimana disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 24 ayat 2.
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Dalam pemerintahan, MA dan MK termasuk ke dalam lembaga yudikatif. Sebuah lembaga yang dibentuk sebagai penegak hukum, penguji material, penyelesaian perselisihan, serta membatalkan peraturan yang bertentangan dengan dasar negara.
Meski sama-sama mengawasi penerapan UUD dan hukum yang berlaku, tetapi dua lembaga ini memiliki sejumlah perbedaan.
Lantas, apa saja perbedaan MA dan MK?
Baca juga: Apa yang Terjadi jika Revisi UU Pilkada DPR RI Beda dengan Putusan MK?
MA pertama kali berdiri pada 18 Agustus 1945 dengan dasar hukum Undang-Undang (UU) Nomor 14 Tahun 1985. Sedangkan MK baru dibentuk tanggal 13 Agustus 2003 atas UU Nomor 24 Tahun 2003.
Selain waktu pembentukannya, MA dan MK memiliki perbedaan lain yang perlu diketahui. Perbedaan tersebut antara lain:
Dikutip dari laman resmi Mahkamah Konstitusi RI, pemegang kekuasaan kehakiman telah diatur dalam UUD 1945 Pasal 24.
Pada perubahan ketiga UUD 1945, pasal tersebut kemudian direvisi untuk merinci mengenai siapa pemegang kekuasaan kehakiman beserta kewenangannya.
Kewenangan MA diatur secara jelas di Pasal 24A, sementara MK disebutkan dalam Pasal 24C. Berikut perbedaan selengkapnya antara kewenangan MA dan MK:
Tugas dan kewenangan MA
Tugas dan kewenangan MK
Selain itu, tugas dan wewenang MK juga disebutkan dalam Pasal 7B ayat (1) UUD 1945, yaitu MK bisa memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR terkait pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden.
Presiden dan/atau wakil presiden bisa diberhentikan saat terbukti melanggar hukum berupa korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, melakukan perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat.
Sifat putusan MA bersifat akhir, mengikat, dan berkekuatan hukum tetap. Namun, putusan tersebut bisa dilakukan peninjauan kembali apabila diketahui terdapat kesalahan dalam memutus perkara.