KOMPAS.com - Undang-Undang (UU) Kesehatan yang baru disahkan menghapus anggaran wajib minimal (mandatory spending) di bidang kesehatan.
Dikutip dari Rabu (12/3/2023), pada UU Sebelumnya, yakni UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Kesehatan, anggaran wajib minimal bidang kesehatan dipatok sebesar 5 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di luar gaji.
Namun dalam UU Kesehatan terbaru, tak ada besaran minimal alokasi anggaran wajib di bidang kesehatan.
Menanggapi hal tersebut, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, Indonesia jangan meniru negara lain yang sudah membuang uang atau anggaran terlalu banyak di bidang kesehatan, namun hasilnya tidak bagus.
Menurut Budi, ketentuan besarnya mandatory spending tidak menentukan kualitas dari keluaran (outcome) atau hasil yang dicapai.
"Itu yang kita ingin mendidik masyarakat, butuh bantuan dari teman-teman bahwa jangan kita meniru kesalahan yang sudah dilakukan banyak negara lain yang buang uang terlampau banyak," katanya, dikutip dari Selasa (11/7/2023).
Budi menyampaikan, tidak ada data satupun negara yang membuktikan besarnya pengeluaran di bidang kesehatan akan berpengaruh pada derajat kesehatan seseorang.
Lantas, apa dampak dari dihapusnya anggaran wajib minimal 5 persen di bidang kesehatan ini?
Baca juga: DPR Sahkan RUU Kesehatan Menjadi UU, Sempat Ditolak Dua Fraksi
Terkait hal tersebut, Direktur Eksekutif Center Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yusdhistira menilai, penghapusan mandatory spending 5 persen dalam APBN tentang kesehatan akan membawa implikasi yang luas.
Salah satu yang dikhawatirkan, yakni akan memengaruhi berbagai upaya kesehatan yang telah dilakukan selama ini, di antaranya soal pemberantasan stunting.
"Tak ada jaminan misal anggaran untuk stunting nilainya akan sebesar saat ini. Padahal masih banyak daerah-daerah dengan preverensi stunting tinggi," kata Bhima saat dihubungi ÓÅÓιú¼Ê.com, Rabu (12/7/2023).
Selain itu, pihaknya juga mengkhawatirkan penghapusan ini akan memengaruhi pembenahan fasilitas kesehatan (faskes) terutama yang ada di daerah-daerah terpencil dan terluar.
Baca juga: Pro Kontra UU Kesehatan yang Baru Disahkan
Bhima mengatakan, penghapusan mandatory spending 5 persen tak menjamin kualitas dari penganggaran kesehatan ke depan akan lebih baik.
"Kalau masalah yang ada saat ini di dalam penganggaran madatory spending 5 persen itu banyak belanja birokrasi, banyak belanja yang tak relevan dengan program utama, ya kan ada fungsi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit," kata dia.
Ia menilai, jika salah satu pertimbangan penghapusan ini adalah karena masalah transparansi, seharusnya BPK dapat melakukan tindak lanjut guna memperbaiki kualitas belanja kesehatan di kementerian maupun lembaga terkait.