KOMPAS.com - Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah atau UMKM adalah tulang punggung yang sangat berdampak pada percepatan pemulihan ekonomi Indonesia.
Sektor bisnis UMKM, selain menguntungkan pemilik, juga dapat menguntungkan orang lain.
Hal tersebut, dilansir dari (4/2/2022), terlihat dari kemampuannya menyerap 97 persen tenaga kerja serta mengintegrasikan investasi sebesar 60,4 persen.
Baca juga: Perlukah Lapor Hibah dan Warisan di SPT Tahunan?
Namun, lonjakan keberadaan UMKM tidak seiring dengan kesadaran pelaku UMKM untuk membayar pajak.
Padahal, pajak adalah penyumbang terbesar penerimaan negara, yakni mencapai 80 persen.
Dengan persentase sebesar itu, sangat disayangkan jika pelaku UMKM masih kurang paham ataupun melalaikan kewajiban membayar pajak.
Simak ulasan berikut, agar Anda semakin paham dengan pajak UMKM.
Baca juga: Punya Kekayaan di NFT, Apakah Perlu Membayar Pajak? Ini Kata DJP
UMKM dikenai Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 4 ayat (2) atau yang biasa disebut dengan PPh Final.
Dilansir dari , Pelaku UMKM yang memiliki omzet maksimal Rp 4,8 miliar dalam satu tahun, dikenakan PPh Final sebesar 0,5 persen.
Tarif tersebut mengalami penurunan dari yang semula sebesar 1 persen.
Baca juga: Solusi Kurang Bayar atau Lebih Bayar Saat Lapor SPT
Perubahan tarif UMKM ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
PP tersebut berlaku sejak Juli 2018, menggantikan PP Nomor 46 Tahun 2013.
Alasan penurunan tarif oleh pemerintah adalah agar dapat membantu pengembangan usaha para UMKM dan menjaga arus kas agar dapat digunakan sebagai tambahan modal.
Baca juga: Begini Aturan Pajak bagi UMKM atau Pengusaha Olshop