SAAT ulang tahunnya ke-80-an beberapa tahun lalu, saya memberi ucapan seperti biasanya, “Semoga panjang umur, sehat, dan bahagia.” Ucapan saya langsung dipotong oleh Suster Francesco, “Nggak usah panjang-panjang (usianya)!”
Toh, Tuhan memberinya umur yang cukup panjang untuk membaktikan diri bagi pendidikan.
Malam itu, dunia pendidikan Indonesia berduka. Suster Francesco Marianti, OSU tutup usia.
Sembilan puluh tahun, bukan waktu yang singkat.
Suster Francesco sudah pernah mengabdi di beberapa sekolah, tapi Santa Ursula BSD adalah “bayinya” sejak awal.
Sejak masih negosiasi tentang tanah yang akan digunakan, dilanjutkan dengan keputusan bahwa sekolah ini tidak hanya menerima siswa perempuan, juga tentang pengolahan sampah yang diterapkan di seluruh unit pendidikan.
Ketika belum lama sekolah itu berdiri dan antrean mobil penjemput mengular ke arah jalanan dan pasar, Suster Francesco ikut turun tangan mengatur lalu-lalang penjemputan. Ruh sekolah itu adalah dirinya.
Sejak membantu penulisan buku 23 tahun Santa Ursula BSD, saya lumayan sering berinteraksi dengan sekolah dan tentu saja dengan Suster Francesco.
Dan, setiap datang ke sana, saya selalu berkata dalam hati, “Siapa yang akan menggantikan Suster Francesco?”
Di mata saya yang orang luar, Suster Francesco sangat dominan—tentu dalam konteks positif. Apa yang ada di Santa Ursula BSD adalah perwujudan dari pemikiran Suster Francesco.
Tentu, penggambaran orang tidak terlalu berbeda. Suster Francesco memang galak. Saya pertama kali mengenalnya melalui buku Fikir, yang diterbitkan ketika saya masih bekerja sebagai wartawan.
Sekilas saja sudah langsung tampak ketegasan sosok Suster Francesco. Ibu saya pernah bersekolah di sekolah Katolik, jadi saya tidak kaget dengan cerita-cerita mengenai para suster yang “supertegas”.
Jangankan kepada anak murid, guru-guru pun dibuat senewen jika Suster Francesco ada di antara mereka.
Saya pernah mengajar guru-guru Santa Ursula BSD. Salah satu guru memberikan jawaban atau pendapat—saya lupa, tepatnya—dengan suara yang lirih.
Dari tempat duduknya di belakang kelas, Suster Francesco berkata lantang, “Kalau suaranya demikian, bagaimana mau mengajar?”
Bukan hanya guru yang bersangkutan, teman-temannya—bahkan saya—ikut deg-degan mendengar “teriakan” Suster Francesco.