Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Ternate berada di bawah kendali VOC.
Ketergantungan Sultan Mandarsyah pada VOC dapat dilihat dari nama putra-putranya yang dinamai seperti kota di Belanda, yakni Pangeran Sibori Amsterdam dan Pangeran Rotterdam.
Si bungsu yang menjadi sultan
Sultan Mandarsyah adalah putra dari Sultan Mudafar Syah I (1606-1627), yang lahir pada 1625 dengan nama Kaicili (Pangeran) Tahubo.
Ia mempunyai dua kakak laki-laki, yakni Kaicili Kalamata dan Kaicili Manila.
Pada saat Sultan Mudafar Syah I wafat pada 1627, penggantinya adalah sepupunya yang bernama Hamzah (1627-1648).
Ketika Hamzah wafat tanpa meninggalkan ahli waris, terjadi perdebatan terkait siapa yang akan duduk di singgasana.
Para pejabat kerajaan ingin Kaicili Manila menjadi sultan, tetapi para ulama lebih memilih Kaicili Kalamata.
Berbeda lagi dengan VOC, yang bersikeras bahwa si bungsu Tahubo harus menjadi sultan karena telah dibesarkan di bawah pengaruh gubernur Belanda di Ternate.
Karena pengaruh VOC di kerajaan sangat besar, pada akhirnya Tahubo yang diangkat menjadi Sultan Ternate dengan gelar Sultan Mandarsyah.
Mendapat banyak perlawanan
Pengangkatan Sultan Mandarsyah dengan campur tangan VOC mendapat perlawanan dari keluarga kerajaan.
Pada Agustus 1650, mereka mengangkat Sultan Manila menjadi penguasa baru di Kesultanan Ternate.
Sultan Manila mempertahankan klaimnya sebagai Sultan Ternate dengan kedudukan di Jailolo, di pantai barat Pulau Halmahera.
Awalnya, Kaicili Kalamata bergabung dengan kubu Sultan Manila, sebelum akhirnya menyatakan diri sebagai sultan dengan dukungan para ulama.
Pada 1653, perlawanan Sultan Manila dapat dipadamkan oleh Belanda.
Berbeda dengan Kaicili Kalamata, yang belum menyerah dan terus merongrong kekuasaan adiknya yang berada di bawah pengaruh VOC.
Selain itu, perlawanan atas kekuasaan Sultan Mandarsyah-VOC juga terjadi di Kepulauan Maluku, seperti di Seram dan Ambon.
Perang bertambah besar ketika Kerajaan Makassar juga maju untuk melawan VOC.
Semua perlawanan dapat ditumpas oleh Belanda pada 1660-an, yang menandai penguasaan penuh VOC atas monopoli cengkih di kawasan Ambon.
Perjajian sultan dengan VOC
Ketika VOC menerjunkan pasukannya untuk menumpas perlawanan, Sultan Mandarsyah ditekan secara halus untuk menandatangani perjanjian.
VOC mengerti bahwa Sultan Mandarsyah dapat dijadikan alat untuk menegakkan monopoli rempah-rempah di Kepulauan Maluku.
Perjanjian yang ditandatangani pada 31 Juli 1652 itu menyatakan bahwa Kesultanan Ternate harus melaksanakan pelayaran hongi dan ekstirpasi (penebangan pohon-pohon cengkih) di wilayah yang ditentukan.
Selain itu, Kesultanan Ternate tidak boleh lagi mengangkat salahakan baru untuk kawasan seberang lautan di Maluku Tengah, yakni di Hoamoal, dan daerah ini menjadi wilayah yang langsung diperintah oleh Belanda di Ambon.
Sebagai imbalannya, VOC memberikan recognitie penningen, yakni kompensasi atau subsidi yang diberikan kepada sultan.
Selain itu, aliansi VOC dan Sultan Mandarsyah membawa dampak pada semakin luasnya wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate.
Sultan Mandarsyah memerintah di bawah pengaruh VOC hingga akhir hayatnya pada 1675.
Referensi:
/stori/read/2023/10/09/130000479/biografi-sultan-mandarsyah-dari-ternate