KOMPAS.com- Jumlah pasien Covid-19 yang meninggal dunia di Indonesia mencatatkan angka tertinggi, yakni 387 orang dalam satu hari pada Rabu (27/1/2021).
Seperti diberitakan 优游国际.com, data terbaru yang dikeluarkan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 hingga pukul 12.00 WIB, jumlah tersebut merupakan angka tertinggi pasien Covid-19 yang meninggal dunia sejak kasus kematian pertama diumumkan pada 2 Maret 2020 lalu.
Sebelumnya, angka kematian Covid-19 tertinggi terjadi pada Kamis (21/1/2021), dengan jumlah kasus 346 pasien Covid-19 meninggal dalam sehari.
Bahkan, jumlah pasien terkonfirmasi positif Covid-19 juga tercatat belum mengalami penurunan.
Data pemerintah menunjukkan ada tambahan 11.948 orang, yang menyebabkan total kasus Covid-19 mencapai 1.024.298 kasus.
Menanggapi kondisi tersebut, Ketua Departemen Menejemen Rumah Sakit, Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Hasanuddin (Unhas) Irwandy, SKM, MScPH, MKes, mengatakan bahwa berdasarkan data Kementerian Kesehatan sejak 17 januari 2021, beberapa daerah telah masuk zona merah.
Irwandi mengatakan BOR (bed occupancy rate) ruang perawatan untuk Covid-19 sudah di atas 80 persen. Daerah-daerah tersebut di antaranya DKI Jakarta, Banten dan DI Yogyakarta.
"Kita selalu beranggapan bahwa nanti 100 persen baru rumah sakit dikatakan kolaps, namun sebenarnya dalam pelayanan kesehatan BOR idealnya adalah 60-85 persen," kata Irwandy saat dihubungi 优游国际.com.
Irwandy menegaskan bahwa lebih dari kapasitas idealnya BOR tersebut, maka bisa dikatakan rumah sakit sudah tidak akan dapat memberikan pelayanan maksimal kepada pasien.
"Ada isu mutu dan keselamatan pasien yang rawan terjadi, jika BOR lebih dari 85 persen," imbuhnya.
Dampaknya, kata Irwandy, saat ini dapat dilihat angka kematian beberapa kali pecah rekor.
Rendahnya mutu dan akses ke fasilitas kesehatan akibat okupansi tempat tidur fasilitas kesehatan yang tinggi telah berkontribusi terhadap angka kematian akibat Covid-19.
"Menurut saya, setidaknya ada dua faktor utama penyebabnya (angka kematian Covid-19 tertinggi)," ungkap Irwandy.
Pertama adalah pemerintah terlambat mengantisipasi kondisi ini. Padahal lonjakan di awal tahun 2021 ini sudah lama diprediksi akan terjadi.
Irwandy mengatakan di saat okupansi tempat tidur rumah sakit semakin menipis, pemerintah baru mengeluarkan kebijakan untuk menambah.
"Padahal, menambah ruang untuk pasien Covid-19 bukan persoalan mudah," imbuh Irwandy.
Selain itu, pemerintah saat ini seperti terlalu fokus hanya mengintervensi di rumah sakit dengan menambah tempat tidur.
Padahal, menurut Irwandy, semestinya harus diperhatikan juga sistem pra hospital. Artinya, harus ada sistem seperti pusat komando yang tersentral yang dibangun untuk mengatur lalu lintas pasien ke rumah sakit.
Irwandy menegaskan bahwa hal ini penting untuk menghindari penumpukan pasien disatu daerah atau rumah sakit tertentu saja.
Melakukan penapisan pasien siapa yang dapat memperoleh tempat di rumah sakit, serta mempermudah masyarakat menemukan rumah sakit sewaktu mereka membutuhkan.
"Kita memiliki sistem penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT). Sayangnya, tidak difungsikan dengan baik, pemerintah harus mulai menata SPGDT ini," imbuh Irwandy.
Lebih lanjut Irwandy mengatakan bahwa dengan menata SPGDT dengan menjadikannya tersentralisasi dengan integrasi data dari seluruh rumah sakit.
"Saya rasa ini akan membantu mengatur alur lalu lintas pasien. Dengan menata sistem pre hospital dan hospital harus sejalan untuk mencegah dampak yang lebih buruk," jelas Irwandy.
/sains/read/2021/01/27/192000823/kematian-covid-19-tertinggi-selama-pandemi-rumah-sakit-penuh-berkontribusi