KOMPAS.com- Kerusakan lingkungan semakin cepat dan umat manusia harus segera mengambil langkah untuk memberi ruang bagi alam memulihkan diri.
Sebab, berbagai penyakit baru mulai bermunculan dan mengancam kehidupan manusia di planet ini.
Menyusul laporan dari Konvensi PBB untuk Keanekaragaman Hayati, yang mengemukakan delapan poin transisi utama yang dapat membantu menghentikan kemerosotan yang terjadi di alam.
"Segalanya harus berubah," kata sekretaris eksekutif konvensi, Elizabeth Maruma Mrema seperti dikutip dari BBC, Jumat (18/9/2020).
Lantas, apa hubungannya eksploitasi alam dan kesehatan masyarakat?
Setiap tahun, wabah penyakit baru telah muncul pada populasi manusia sekitar tiga sampai empat kali. Bahkan, penyakit baru ini semakin mudah menular dari manusia ke manusia, yang berpotensi memicu sebuah pandemi.
Seperti yang sedang kita hadapi saat ini, pandemi virus corona yang menyebabkan penyakit baru, Covid-19.
Tak hanya itu, sebagian besar wabah yang muncul disebabkan oleh penyakit hewan yang menyebar ke populasi manusia.
Di antaranya Ebola dan HIV yang juga berasal dari primata. Bahkan, ilmuwan mengaitkan kasus Ebola dengan konsumsi hewan yang terjangkit virus ebola.
Gigitan dari hewan yang terinfeksi rabies juga merupakan cara paling efektif penularan suatu penyakit. Bahkan, 20 tahun sebelum munculnya pandemi Covid-19, SARS, MERS, flu babi dan flu burung, semua penyakit disebabkan oleh hewan.
Saat berupaya merekayasa ulang alam, secara tidak langsung manusia telah melanggar reservoir penyakit hewan dan menempatkan diri kita pada risiko tersebut.
"Semakin banyak kita memengaruhi populasi satwa liar, seperti menebang hutan, dan menyebabkan hewan berpindah dan memasuki lingkungan kita, maka itu akan menyebabkan patogen (sumber penyakit)," ungkap Profesor Matthew Baylis, seorang ahli epidemiologi hewan dari Universitas Liverpool di Inggris.
Profesor Baylis menyimpulkan dalam skala global kita telah memfasilitasi penyebaran penyakit atau patogen dari hewan ke manusia.
Upaya manusia melindungi alam
Dalam Konvensi PBB (CBD) disebut 'kartu laporan terakhir' tentang kemajuan terhadap 20 target keanekaragaman hayati global yang disepakati pada 2010 dengan tenggat waktu penyelesaian pada 2020.
"Kemajuan telah tercapai, tapi tak satu pun dari target tersebut yang telah tercapai sepenuhnya," ujar Maruma Mrema.
Selain peringatan yang tegas, laporan ini juga menetapkan instruksi manual tentang cara menurunkan kurva terkait hilangnya keanekaragaman hayati.
Rencananya, menurut David Cooper, wakil sekretaris eksekutif CBD, tahun depan konferensi PBB untuk keanekaragaman hayati akan digelar di China.
"Di mana negara-negara diharapkan mengadopsi kerangka kerja baru untuk mewakili komitmen global untuk meletakkan alam agar bisa mulai merintis pemulihan pada 2030," kata Cooper.
Kerangka kerja yang dijuluki 'perjanjian iklim Paris untuk alam' yang diharapkan menjadi komitmen bagi 196 negara yakni akan mencakup delapan transisi utama, di antaranya sebagai berikut.
"Covid-19 telah menjadi pengingat yang kuat, mengaitkan tindakan manusia dan alam. Sekarang kita memiliki kesempatan untuk melakukan hal yang lebih baik pascapandemi," jelas Mrema.
Bahkan, pandemi ini berkaitan juga dengan perdagangan satwa liar dan perambahan hutan. Para ilmuwan mengatakan hal itu meningkatkan risiko penyebaran penyakit dari hewan ke manusia.
/sains/read/2020/09/18/080200123/hewan-terancam-punah-dan-kerusakan-lingkungan-apa-hubungannya-dengan-wabah