JAKARTA, KOMPAS.com - Menandai 20 tahun berkarya, Sutradara Joko Anwar merilis film Pengepungan di Bukit Duri.
Film ke-11 Joko Anwar ini bukan begenre horor, tetapi malah terasa lebih mengerikan.
Meski demikian, di balik kengerian itu terdapat pesan penting sebagai bahan refleksi diri.
Pengepungan di Bukit Duri atau The Siege Thorn High mengisahkan tentang Edwin (Morgan Oey), pria dengan etnis Tionghoa yang menjadi guru seni di SMA Bukit Duri.
SMA ini digambarkan berlokasi di Jakarta Timur dan berisi murid-murid buangan.
Edwin harus menghadapi Jefri (Omara Esteghlal), murid bengis dan sadis yang menjadi ketua geng. Edwin yang terkepung dalam gedung sekolah berada antara hidup dan mati.
Baca juga: Kenapa Film Pengepungan di Bukit Duri Berlatar Tahun 2027? Ini Penjelasan Joko Anwar
Pengepungan di Bukit Duri bergenre thriller-action. Meski bukan horor yang menghadirkan sosok hantu, film ini terasa lebih mengerikan karena menampilkan kelakukan manusia seperti iblis.
Awal film memperlihatkan terjadinya kerusuhan, penjarahan, kekerasan fisik/mental, dan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa.
Tanpa dijelaskan secara gamblang, adegan tersebut menggambarkan peristiwa mirip seperti yang terjadi pada tahun 1998 di negara ini.
Gambaran tentang apa yang terjadi saat itu disuguhkan secara detail seperti lewat tulisan, juga graviti di antara tembok-tembok lusuh.
Baca juga: Joko Anwar Bantah Film Pengepungan di Bukit Duri untuk Menakuti: Justru Ajak Bercermin dan Refleksi
Untuk itu Joko Anwar juga memberikan trigger warning atau peringatan konten. Sebab, cerita film ini mengandung elemen kekerasan dan ketegangan rasial yang bisa memicu trauma.
Penonton diajak bermain roller coaster emosi.
Namun, Pengepungan di Bukit Duri bisa dinikmati tanpa harus berpikir keras tentang teori-teori yang ada seperti film horor Joko Anwar sebelumnya.
Bahkan ada bumbu komedi di beberapa adegan yang mampu meredakan sedikit ketegangan.
Baca juga: Film Pengepungan di Bukit Duri Menceritakan Tentang Apa?
Omara dan Morgan menampilkan akting yang memukau.