Peter Kenilorea, politisi oposisi dan pengkritik vokal Pemerintahan Sogavare, menyebut dampak tarif listrik yang tinggi ini sangat besar bagi masyarakat.
Dia mengatakan korupsi dan kurangnya kemauan politik telah melumpuhkan kebijakan energi di negara tersebut.
"Bila biaya energi dan listrik sangat tinggi, maka demikian pula dengan biaya hidup akan jadi tinggi," ujarnya.
"Jadi pengusaha sulit untuk berkembang, karena harga bahan bakar yang begitu tinggi. Energi adalah penggerak utama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Tanpa energi kita kembali ke Abad Kegelapan," tutur Peter Kenilorea.
Direktur divisi energi Pemerintah Kepulauan Solomon John Korinihona menolak tuduhan korupsi atau kepentingan pribadi sebagai penyebab mahalnya tarif listrik.
Dia menyebut pemerintah telah berencana menurunkan tarif listrik untuk membantu mengurangi biaya hidup.
Namun, pengalaman seorang pengusaha, Craig Day, menunjukkan betapa mahalnya tarif listrik di negara ini.
Craig menjalankan usaha pompa bensin dan akomodasi di ibu kota selama 50 tahun, dan terpaksa menutup usaha barunya karena biaya listrik yang tinggi.
"Kami terpaksa melepas AC pendingin dan menutup mesin produksi es," ujarnya.
"Mesin-mesin itu saja, menelan biaya Rp 90 juta untuk menjalankan produksi es," kata Craig.
Pemerintah Solomon mengatakan, kini sedang mengusahakan solusi mengatasi mahalnya tarif listrik.
Baca juga: 10 Negara dengan Harga BBM Termahal di Dunia
Sekitar 20 kilometer di sebelah tenggara Honiara, proyek pembangkit listrik tenaga air Sungai Tina yang telah lama ditunggu-tunggu semakin dekat tahap penyelesaian.
Studi kelayakan untuk proyek tersebut dimulai pada tahun 2009. Saat itu diharapkan listrik sudah terproduksi pada tahun 2017.
Ternyata banyak terjadi penundaan proyek yang sebagian didanai oleh Pemerintah Australia dan LSM seperti Dana Iklim Hijau dan Bank Pembangunan Asia.
Pemerintah Kepulauan Solomon kini menjelaskan kepada ABC News bahwa PLTA tersebut baru akan berpoduksi pada tahun 2025 atau 2026.