BRUSSELS, KOMPAS.com - Negara-negara Afrika menjadi yang pertama dipilih untuk menerima teknologi yang diperlukan untuk memproduksi vaksin mRNA melawan Covid-19, yakni Mesir, Kenya, Nigeria, Senegal, Afrika Selatan, dan Tunisia.
Keenam negara telah dipilih untuk membangun pabrik produksi vaksin sebagai bagian dari upaya yang diluncurkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun lalu, untuk meniru apa yang diyakini sebagai suntikan berlisensi paling efektif melawan Covid-19.
Afrika saat ini hanya memproduksi 1 persen vaksin virus corona. Menurut angka WHO, hanya 11 persen dari populasi di Afrika yang divaksinasi lengkap, dibandingkan dengan rata-rata global sekitar 50 persen.
Sekretaris Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan pada pertemuan puncak Brussels bahwa meskipun lebih dari 10 miliar dosis vaksin Covid-19 telah diberikan secara global, miliaran orang masih belum divaksinasi.
“Ironisnya, tentu saja, adalah bahwa miliaran orang belum mendapat manfaat dari alat-alat yang menyelamatkan jiwa ini,” katanya dalam pertemuan puncak negara-negara Uni Eropa dan Uni Afrika pada Jumat (18/2/2022) dilansir AP.
Pada kesempatan itu, dia pun menyerukan peningkatan mendesak produksi vaksin lokal di negara-negara miskin.
Ini adalah pertama kalinya WHO mendukung upaya untuk merekayasa balik vaksin yang dijual secara komersial, mengakhiri industri farmasi yang sebagian besar memprioritaskan memasok negara-negara kaya daripada yang miskin baik dalam penjualan maupun manufaktur.
Penolakan industri farmasi
Awal tahun ini, perusahaan Cape Town mencoba mereplikasi vaksin Covid-19 Moderna Inc. Mereka mengatakan telah berhasil membuat kandidat vaksin yang akan segera memulai pengujian laboratorium.
Baik Moderna dan Pfizer-BioNTech, produsen dua vaksin mRNA Covid-19 resmi, menolak membagikan resep vaksin atau pengetahuan teknologi mereka dengan WHO dan mitranya.
Doctors Without Borders menyambut baik pengumuman WHO, tetapi memperingatkan bahwa lebih banyak pekerjaan diperlukan untuk membuat ulang vaksin mRNA dan meminta Moderna untuk membantu.
Kate Stegeman, koordinator advokasi badan amal medis, mengatakan masih perlu waktu cukup lama bagi para ilmuwan Afrika untuk membuat vaksin moderna yang sangat teknis, termasuk membuat versi tahan panas dan melakukan uji klinis.
“Cara tercepat untuk memulai produksi vaksin di negara-negara Afrika dan wilayah lain dengan produksi vaksin terbatas, masih harus melalui transfer pengetahuan vaksin yang penuh dan transparan dari teknologi mRNA yang sudah disetujui ke perusahaan yang mampu,” kata Stegeman.
Dia menyorot penelitian yang menunjukkan hanya ada lebih dari 100 produsen di Asia, Afrika dan Amerika Latin yang bisa membuat vaksin.
Aksi neo-kolonial
Awal pekan ini, BioNTech mengatakan akan mulai mengirim pengiriman pabrik berukuran kontainer ke negara-negara Afrika, untuk membantu mereka mulai membuat vaksin Covid-19 dengan staf Eropa.
Beberapa aktivis menyebut langkah itu sebagai “aksi neo-kolonial” untuk mempertahankan kendali.
Meskipun Moderna berjanji untuk tidak mengejar perusahaan yang melanggar paten vaksin virus corona, baru-baru ini ia mengajukan klaim untuk beberapa paten luas di Afrika Selatan.
Langkah itu menimbulkan kekhawatiran perusahaan akan mulai memberlakukan paten, sementara Covid-19 masih menyebar di Afrika, dan merusak upaya untuk membangun produksi vaksin Afrika.
Selain mendukung transfer teknologi vaksin, UE telah mengekspor jutaan dosis vaksin Covid-19 ke Afrika. Blok 27 negara itu mengatakan telah memasok Afrika dengan hampir 145 juta dosis, dengan target mencapai setidaknya 450 juta dosis vaksin pada musim panas.
Kekhawatiran varian baru
Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa mengatakan dengan pengumuman Jumat (18/2/2022) "berarti saling menghormati, saling mengakui" apa yang dapat disumbangkan oleh negara-negara Afrika serta membawa investasi ke benua itu.
Tetapi Ramaphosa mengulangi seruannya untuk mencabut perlindungan paten pada vaksin virus corona. Langkah ini diyakini akan memungkinkan lebih banyak produsen untuk memproduksi vaksin.
UE tetap menentang langkah tersebut, dan lebih memilih kesepakatan individu dengan perusahaan untuk transfer teknologi dan pengetahuan.
Keputusan selanjutnya ada di tangan Organisasi Perdagangan Dunia yang beranggotakan 164 orang. Jika ada satu negara yang memberikan suara menentang pengabaian perlindungan paten, proposal tersebut tetap akan gagal.
Perdana Menteri Finlandia Sanna Marin mengatakan pembicaraan tentang paten harus dilanjutkan karena memperluas vaksinasi secara global adalah kuncinya.
“Kalau tidak, kita akan melihat lebih banyak varian dan varian berikutnya mungkin (lebih) berbahaya daripada (yang) kita lihat,” kata Marin.
/global/read/2022/02/20/071500070/6-negara-afrika-terpilih-untuk-menerima-teknologi-pembuatan-vaksin-mrna