优游国际

Baca berita tanpa iklan.
Salin Artikel

Model Pendidikan Masa Depan: Pendidikan Jarak Jauh dan Tantangan

Revolusi pendidikan yang didorong oleh pandemi telah mengubah wajah pendidikan di Indonesia.

Pandemi mendorong kita untuk beradaptasi dengan dunia yang sama sekali baru dan kita dihadapkan pada pilihan yang sulit, bahkan tanpa pilihan. Pembelajaran digital menjadi satu-satunya opsi yang bisa dan harus dilakukan.

Sebagian besar institusi pendidikan mulai membiasakan diri dengan PJJ. Awalnya memang kita cukup kesulitan mengubah pola pendidikan.

Per 17 April 2020, UNICEF mencatat, sekitar 1,5 miliar murid terdampak karena pandemi COVID-19.

Di Indonesia, menurut BPS 2020, 45 juta murid atau 3 persen dari jumlah murid global terpaksa tidak bersekolah imbas dari pandemi. Karena itu, PJJ harus dilakukan agar pendidikan tetap berjalan.

Awalnya terjadi culture shock karena langsung pindah dari belajar luring ke daring tanpa adanya proses trial.

Itu memang terpaksa dilakukan agar pendidikan tetap berjalan sambil pemerintah mencari cara efektif menanggulangi pandemi.

Bahkan, menurut Direktur Pembelajaran Jarak Jauh LSPR, Ari Santoso Wibowo, tanpa adanya teknologi pendidikan dan PJJ, mungkin kita akan benar-benar terputus pendidikannya karena pandemi.

Sekarang muncul pilihan untuk mencampurkan cara belajar tatap muka dengan daring. Cara ini disebut pendidikan hybrid.

Pendidikan hybrid akan menjadi realita baru dalam dunia pendidikan dan PJJ akan tetap dilakukan sesuai situasi dan kondisi.

Yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana potensi PJJ itu sendiri. Saat ini memang ada beberapa tantangan, tetapi bagaimana potensi PJJ itulah yang perlu kita manfaatkan.

Memanfaatkan potensi PJJ

Kita telah melakukan PJJ selama kurang lebih dua tahun. Pemerintah Indonesia telah menempuh banyak cara memastikan PJJ berjalan, mulai dari penggunaan channel televisi TVRI, membuat platform Rumah Belajar yang dibuat Kemendikbud-ristek, dan menyediakan subsidi paket internet untuk meringankan pengeluaran murid.

Pihak swasta juga telah berupaya menyediakan layanan paket PJJ dengan harga terjangkau.

Tetapi, ada beberapa masalah yang muncul. Survei dari Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) di tahun 2021 menyebutkan kalau 80 persen murid tidak senang belajar di rumah. Hanya 20 persen saja yang merasa senang.

Survei dari GSM lengkap menyebutkan alasan murid tidak senang. Yang paling tinggi adalah rindu ketemu dengan teman (40 persen).

Penyebab lainnya adalah bosan (20-26 persen), kurang paham instruksinya (19 persen), kendala internet (13-14 persen), dan susah konsentrasi (14-15 persen).

Sedangkan yang suka belajar di rumah, mereka punya tiga alasan, yaitu belajarnya santai (23 persen), waktunya fleksibel (11 persen), dan skill internet naik (10-15 persen).

Bicara soal skill yang naik, survei yang penulis lakukan bersama Direktur Youthlab, Muhammad Faisal, menemukan bahwa selama pandemi, 73 persen responden mendapatkan kemampuan baru.

Beberapa kemampuan baru tersebut ialah pengembangan diri, konten digital, dan menulis.

Kendala lain berasal dari sistemnya. Harus kita akui Indonesia masih kurang dalam pemerataan teknologi digital, sehingga tidak maksimal dalam PJJ-nya.

Tidak hanya soal infrastruktur, tetapi biaya yang harus dikeluarkan, seperti contohnya kuota internet.

Namun, solusi yang dikeluarkan Kemendikbud-ristek dengan memberikan subsidi kuota internet kepada siswa dan mahasiswa dan pelonggaran dana BOS meminimalisir mahalnya biaya PJJ.

Selain itu, masalah sumber daya manusia masih jadi kendala.

Namun, masalah-masalah yang telah disebutkan di atas hanya sementara, karena dengan tren teknologi yang terus berkembang, mendorong kita untuk terus belajar.

Ini menunjukkan betapa rakyat Indonesia sangat adaptif merespons situasi yang ada.

Ari Santoso Widodo, Direktur Pembelajaran Jarak Jauh LSPR, mengatakan bahwa Indonesia bisa beradaptasi dengan cepat.

Meskipun banyak kendala yang dihadapi, sampai sekarang kita mampu melakukan PJJ. Sebuah prestasi yang luar biasa di tengah keterbatasan kita. Artinya juga, rakyat Indonesia punya tingkat adaptabilitas yang sangat baik.

Selain itu, jika merujuk dari survei GSM, sebenarnya kita bisa melihat potensi dari PJJ. Kita bisa lihat alasan-alasan kenapa PJJ menyenangkan.

PJJ membuat belajar lebih fleksibel, karena kita bisa melakukannya di mana saja. Tidak terikat oleh tempat, sehingga belajar menjadi lebih menyenangkan.

Selain itu, dari fleksibilitas tersebut, PJJ melatih murid untuk bisa belajar mandiri, terlebih banyak industri yang mencari talenta yang mampu belajar mandiri.

Menurut survei dari The Harris Poll tahun 2021, sebanyak 83 persen perusahaan menginginkan talenta yang punya semangat belajar yang tinggi. PJJ bisa jadi sarana yang baik untuk melatih para generasi masa depan.

Dari sisi cost juga, Gunawardhana (2020) berargumen bahwa pendidikan jarak jauh mengurangi biaya dan bahkan bisa melayani lebih banyak murid.

Coursera, platform online learning yang materinya biasa diisi oleh pemateri dari universitas kelas dunia, mengalami peningkatan signifikan dari sisi enrolment dan pendaftar.

Dari segi pendaftar, Coursera mengalami peningkatan dari 44 juta, menjadi 71 juta tahun 2020 dan 92 juta tahun 2021.

Dari sisi enrolment, dari 43 juta tahun 2019, meningkat jadi 76 juta di tahun 2020. Peningkatannya hampir dua kali lipat. Di tahun 2021, angkanya naik lagi menjadi 189 juta.

Pendaftarnya pun berasal dari berbagai negara, mulai dari AS, India, Tiongkok, hingga Indonesia.

Keseluruhannya, PJJ punya potensi yang sangat besar. Bisa menerima banyak pelajar dari berbagai negara yang punya kemauan belajar yang tinggi. Bisa menimba ilmu tanpa kenal batas negara.

LSPR juga selama beberapa tahun terakhir berhasil menjaring 1.000 mahasiswa dari berbagai negara di lima benua. Ini juga buah dari pendidikan jarak jauh.

Karena itu, PJJ harus bisa dimanfaatkan oleh dunia pendidikan. Tentu, beberapa permasalahan yang muncul harus kita perbaiki dan kita bisa belajar dari negara lain.

Belajar dari negara lain

Beberapa tantangan yang kita temukan dari pelaksanaan PJJ bisa kita cari solusinya dengan belajar dari kebijakan PJJ negara lain.

Kita ambil contoh di Singapura, khususnya cara yang dilakukan oleh National University of Singapore (NUS) melakukan PJJ.

Persiapan NUS dapat dikatakan sangat komprehensif. Fung, et.al (2020) mengatakan, di tingkat universitas, dosen dan tenaga kependidikan dibekali dengan berbagai pelatihan terhadap berbagai bentuk pengajaran, termasuk face-to-face, workshop, dan lain sebagainya.

Pelatihan ini dibuat supaya para pendidik adaptif terhadap segala bentuk pengajaran.
Sebenarnya, tidak hanya di Singapura, di Rwanda juga demikian.

Menurut kajian World Bank (2020), pemerintah Rwanda melatih 5.000 Guru pada aspek IT supaya mereka bisa mengajarkannya kembali ke rekan-rekannya.

Lima ribu orang tersebut diharapkan dapat mentransfer ilmu yang telah mereka dapatkan. Jadinya, akan ada semakin banyak pendidik yang memahami IT dan pembelajaran bisa dilakukan lebih optimal.

Kembali lagi ke NUS, apa yang membedakan metode pembelajarannya dengan Indonesia adalah dari segi student-centric.

Dari situasi PJJ di Indonesia, salah satu permasalahannya adalah kurangnya interaksi guru/dosen dengan siswa/mahasiswanya.

Survei dari KPAI 2020 menemukan bahwa 79,9 persen guru tidak melakukan interaksi selama PJJ kecuali memberikan tugas-tugas saja.

Di NUS, Fung, et.al (2020) mengatakan, dosen mereka memanfaatkan sebaik mungkin fitur-fitur yang ada di platform mereka.

Mereka ingin memastikan bahwa muridnya tetap semangat dan aktif dalam pembelajaran. Mereka mengaktifkan fitur chat dan membuka pembelajaran dengan ice-breaker agar semangat dan mood mahasiswa terbangun. Ini bisa diadaptasi sesuai dengan tingkat pendidikan.

Pihak pengajar di NUS berusaha semaksimal mungkin membangun koneksi sosial meskipun belajarnya virtual.

Survei dari lembaga riset Populix 2021 menemukan bahwa ada dua dampak negatif dari metode pembelajaran daring ialah kesulitan berkonsentrasi (86 persen) dan hilangnya kemampuan sosial (73 persen). Ini yang mau dihindari oleh dunia pendidikan di Singapura.

Oleh karena itu, dosen juga mengelompokkan mahasiswanya ke dalam beberapa grup. Ini dibuat supaya mereka bisa saling mengenal satu sama lain dan kemampuan sosialnya juga tidak hilang.

Selama pandemi, beberapa negara lain juga melakukan inovasi dengan mengurangi muatan materinya.

Berdasarkan kajian Bank Dunia (2020), beberapa negara seperti Afghanistan, Pakistan, dan Mozambique melakukan itu. Negara-negara ini hanya fokus ke materi intinya.

Misalnya di Afghanistan, dunia pendidikan mereka memutuskan pelajaran sains dan matematika sebagai core subject.

Pakistan menambahkan mata pelajaran Bahasa Inggris sebagai mata pelajaran inti. Sementara Estonia membebaskan sekolah untuk menentukan kurikulumnya sendiri. Kurikulum nasional hanyalah panduan semata dan tidak bersifat kaku.

Sementara di Jepang dan Vietnam, pendekatan yang dilakukan hampir mirip dengan Indonesia. Berdasarkan kajian UNICEF (2020), kedua negara ini mengoptimalkan platform online dan memberikan subsidi internet ke semua murid-muridnya.

Tetapi, yang membedakan Jepang dengan Vietnam dan Indonesia adalah perhatiannya terhadap murid yang masih belum menyerap materi secara optimal.

Guru di Jepang akan menyiapkan instruksi tambahan agar murid lebih memahami materi.

Tidak hanya di Jepang, di negara Jerman, menurut König, et.al (2020), hampir semua Guru berhubungan secara regular dengan murid-muridnya.

Para Guru juga memberikan konten baru kepada muridnya juga memberikan umpan balik.

Apa yang dilakukan oleh Jepang dan Jerman, dari kacamata masalah di Indonesia, merupakan upaya mencegah terjadinya learning loss.

Hasil penelitian Kemendikbud-ristek tahun 2021 menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan PJJ, siswa mengalami learning loss yang setara 5-6 bulan. Itu cukup lama dan membuat belajar jadi sia-sia.

Tetapi, learning loss tidak hanya terjadi selama pandemi. Pandemi hanya membuka kotak pandoranya, yang membuat kita sadar akan ketimpangan kualitas pendidikan kita.

Proyeksi PJJ ideal

Dalam melaksanakan PJJ, masih banyak persoalan yang perlu diselesaikan, dari segi kompetensi, infrastruktur, hingga psikologis.

Lembaga survei Saiful Mujani Research Center (SMRC) tahun 2020 menemukan bahwa 92 persen murid dan mahasiswa mengalami kendala selama belajar online.

Kendalanya mulai dari koneksi internet, interaksi yang minim, sampai materi yang sulit dipahami.

Sedangkan, menurut Ari Santoso Widodo, ada dua kendala yang perlu kita selesaikan bersama.

Pertama adalah teknologi, yang di mana akses penguasaan teknologi di Indonesia masih sangat minim, sehingga kapasitas SDM pendidik kita perlu ditingkatkan.

Kedua, pendidik kita masih jauh dari siap untuk mengajar lewat platform teknologi, sehingga tidak optimal pelaksanaannya.

Namun demikian, masalah-masalah yang telah penulis paparkan bisa kita atasi bersama. Ada dua pendekatan penyelesaian yang bisa kita lakukan: pendekatan jangka panjang dan jangka pendek.

Pendekatan jangka panjang adalah pendekatan sistemik yang manfaatnya baru kita rasakan beberapa tahun kemudian.

Kita bisa mulai lebih menggencarkan investasi infrastruktur digital seperti internet dan laptop/komputer.

Lalu, SDM ke depannya juga perlu kita tingkatkan dengan meningkatkan kompetensi guru/dosen, mulai dari soft skill hingga hard skill.

Institusi pendidikan punya peran vital untuk membuat kebijakan komprehensif terkait peningkatan kapasitas guru.

Oleh karena itu, mulai dari prinsip, pola pikir, kompetensi, hingga infrastruktur perlu kita ubah.

Kita bisa ambil contoh dari pemerintahan Finlandia yang cukup sukses dalam tipe belajar manapun.

Menurut Lavonen & Salmela-Aro (2020), ada tiga hal yang membuat pendidikan Finlandia sukses dalam transisi menuju PJJ.

Pertama, kualitas pendidiknya memadai, di mana pendidikan minimalnya adalah bergelar Master.

Kedua, Finlandia telah mengembangkan strategi digital sejak tahun 1980-an yang memandu pendidik dan pembuat platform edukatif.

Terakhir adalah mereka punya kemampuan infrastruktur digital dengan kualitas baik.

Berdasarkan studi kasus Finlandia, ada tiga pilar yang menjadi fondasi pelaksanaan PJJ yang baik, yaitu kualitas pendidikan guru, strategi digital yang holistik, dan infrastruktur yang baik.

Tiga hal ini hanya berbuah manis beberapa tahun kemudian, sehingga ketika pandemi masih melanda dan pembelajaran jarak jauh masih jadi pilihan, kita perlu segera membenahi kualitas pembelajaran dan pengajarannya.

Selagi kita membuat sistem mutakhir untuk jangka panjang, jangka pendeknya kita bisa memperbaiki pola pembelajaran.

Kita bisa memperbaiki segi interaksi, konten yang kita perlu berikan kepada murid-murid, serta pendekatan yang tepat.

Guru/dosen juga perlu meningkatkan kreativitas dan kompetensinya. Selagi mendorong murid untuk belajar mandiri, pendidik juga perlu mandiri untuk meningkatkan kompetensinya.

Alasannya adalah karena bila kemampuan pendidik tidak berkembang, berdampak besar pada pelaksanaan belajar.

Mereka juga tidak hanya terus melaksanakan apa yang tertuang di kurikulum dan materi apa yang harus diajarkan, tetapi merumuskan berbagai metode pembelajaran baru supaya kelas tidak membosankan.

Fung, et.al (2020) mengutarakan bahwa di NUS, dosen di sana aktif dalam membuka interaksi di ruang virtual, baik itu menggunakan kolom chat maupun melalui polling yang diadakan. Itu memancing mereka untuk lebih aktif dalam kelas.

Selain itu, tenaga pengajar juga tidak lepas tangan ketika dosen membuat kelompok kecil untuk berdiskusi dan menjawab persoalan yang diberikan.

Tenaga pengajar hadir sebagai advisor kepada mahasiswa, sehingga kelas tersebut menjadi interaktif. Ini bisa jadi masukkan yang bisa kita adaptasi agar murid lebih semangat dalam belajar.

Praktek PJJ di NUS adalah salah satu contoh kecil yang bisa kita lakukan. Selain itu, dosen/guru bisa aktif tidak hanya di ruang virtual Zoom saja.

Mereka juga perlu aktif di grup WhatsApp. Terlebih, aktivitas lebih intens dilakukan di grup WhatsApp.

Survei dari IDEAS 2021 menemukan bahwa 74 persen lebih intens menggunakan WhatsApp atau Google Classroom.

Nabilla & Kartika (2020) mengatakan bahwa WhatsApp grup sangat efektif dan dapat meningkatkan minat belajar.

Efeknya sangat positif bagi mahasiswa. WhatsApp pun bisa jadi wadah diskusi atau bertanya jika ada materi sebelumnya yang dirasa masih kurang pembahasannya.

Pengajar masa kini perlu sekali memaksimalkan grup WhatsApp/chat lain sebagai wadah untuk sharing dan berbagi ilmu pengetahuan. Manfaatkan dengan semaksimal mungkin.

Model pendidikan masa depan

PJJ akan menjadi model pendidikan masa depan. Ari Santoso Wibowo mengatakan bahwa PJJ adalah pendamping setara dari sistem pendidikan yang ada.

PJJ tidak akan bersaing dengan sistem tatap muka yang selama ini kita jalani. Justru PJJ dapat merangkul orang-orang yang tidak mampu secara materi dan jarak untuk mengikuti sistem konvensional.

Selain itu, PJJ merupakan konsekuensi dari kemajuan yang pesat, meskipun konsekuensinya berat. Tetapi, pendidikan harus mengikuti perkembangan zaman dan kita perlu mengadopsinya sebagai bagian dari perubahan.

Coursera menjadi bukti nyata bahwa PJJ bisa menjadi alternatif pendidikan, di mana masyarakat dapat mengakses pendidikan secara lebih fleksibel dan tidak terkendala jarak.

Di dalam UU Perguruan Tinggi Nomor 12 tahun 2012, pasal 31, PJJ merupakan proses belajar mengajar jarak jauh dengan menggunakan berbagai media komunikasi, yang ditujukan untuk masyarakat yang tidak mampu mengakses pendidikan tatap muka.

Selain itu, di dalam Permendikbud Nomor 109 tahun 2013, dalam pasal 6 ayat 1, dikatakan bahwa capaian PJJ sama dengan pembelajaran tatap muka.

Lebih lanjut, di dalam pasal 10 ayat 1, universitas diberikan keleluasan untuk menentukan mekanisme pembiayaan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.

Dalam pasal 15, program studi yang terakreditas A dan B bisa menyelenggarakan PJJ, meskipun berbeda secara cakupan wilayah.

Artinya, sebenarnya PJJ bisa melengkapi bahkan mengganti sistem tatap muka karena capaiannya yang sama.

Kelebihan dari PJJ adalah sifatnya yang inklusif, terbuka, dan dinamis, yang dapat mendorong pembelajaran mandiri bagi semua pihak dengan memanfaatkan teknologi untuk distribusi pengetahuan melintasi ruang dan waktu, sehingga PJJ dapat memudahkan akses pendidikan bagi masyarakat banyak.

Perbedaan antara PJJ dan tatap muka hanya terletak di medianya saja, tanpa menghilangkan substansi pembelajaran itu sendiri.

Melihat karakteristik dari anak muda, tentu pendidikan jarak jauh akan semakin digandrungi oleh mereka, terlebih anak muda sangat memahami teknologi atau bisa disebut tech-savvy.

Contoh paling konkretnya adalah bagaimana atensi anak muda untuk berkuliah di Universitas Terbuka (UT).

Berdasarkan data mereka di April 2021, ada 126.267 mahasiswa di bawah usia 25 tahun yang mengambil kuliah di UT.

Alasan mahasiswa mengambil kuliah di sana adalah karena fleksibilitasnya, sehingga bisa berkuliah sambil mencari pengalaman magang atau bahkan bekerja.

Anak muda sekarang memiliki semangat dan ambisi yang positif untuk meraih cita-cita mereka.

Mereka ingin merasakan pengalaman di dunia profesional sedini mungkin tanpa menganggu jadwal kuliah mereka.

Pendidikan jarak jauh mampu memfasilitasi ambisi positif anak muda. Ini berarti, akan semakin banyak anak muda yang meminati kuliah daring karena fleksibilitasnya dan kemungkinan untuk tetap belajar sambil bekerja, berbisnis atau mencari pengalaman lainnya yang dapat membangun portfolio mereka.

Namun, perubahan instan dari luring menjadi daring menunjukkan kebutuhan akan infrastruktur dan meningkatkan kapasitas guru/dosen.

Terlebih, tidak semua guru/dosen berkapasitas baik tersebar merata ke seluruh wilayah Indonesia.

Selain itu, akses internet yang masih belum merata, dan tidak semua institusi pendidikan memiliki kualitas yang sama.

Ini tentu memengaruhi bagaimana luaran pendidikan itu sendiri, sehingga menghasilkan murid dengan kualitas yang tidak sama.

Konsekuensinya, Indonesia hanya memiliki SDM berkualitas di daerah tertentu saja. Masalah-masalah ini menjadi pekerjaan rumah kita bersama.

Oleh karena itu, ada beberapa masukan yang ingin saya usulkan agar kendala di PJJ bisa teratasi.

Pertama, menyesuaikan pelaksanaan PJJ sesuai dengan kondisi perguruan tinggi masing-masing.

Ini perlu evaluasi berkala di setiap institusi pendidikan agar Kemendikbud-ristek mampu memetakan penyesuaian yang tepat.

Kedua, membentuk gugus kerja di kampus untuk memastikan proses transformasi digital pelaksanaan PJJ berjalan lancar.

Kampus harus berperan aktif dalam memastikan terlaksananya transformasi digital, terutama pimpinan universitas.

Pimpinan universitas perlu memastikan segala hal yang dibutuhkan untuk melakukan PJJ tersedia dan dalam kondisi yang baik.

Ketiga, memberikan otonomi luas kepada universitas maupun sekolah dalam pelaksanaan PJJ. Setiap universitas memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga pelaksanaan PJJ akan lebih baik jika kampus diberi kebebasan dalam metode pelaksanaannya. Kampus akan menyesuaikan PJJ sesuai dengan kapasitas mereka.

Keempat, melengkapi dan memperkuat kompetensi dosen/guru untuk mahir mengajar dengan gaya PJJ agar transfer ilmu berjalan secara maksimal.

Kompetensi yang dibutuhkan termasuk literasi digital, kemampuan untuk mengoperasikan teknologi.

Selain hard skill, soft skill seperti kreativitas, inovasi, dan kolaborasi juga penting agar PJJ bisa lebih optimal dan interaksi antara dosen/guru dan siswa/mahasiswa berjalan jauh lebih optimal dan kelas menjadi lebih hidup.

Terakhir, menjaga dan membuka kemitraan swasta, antar perguruan tinggi dan pemerintah di sektor pendidikan.

Kolaborasi sekarang ini menjadi sangat penting, terlebih setiap entitas memiliki kelebihan yang bisa saling mengisi.

Selain itu, dengan dunia yang cepat berubah, kampus tidak bisa berjalan sendiri. Oleh karena itu, pihak kampus bisa mulai dari sekarang menjalin kemitraan dengan pihak-pihak yang dibutuhkan agar bisa memenuhi kebutuhan universitas dalam melakukan PJJ.

Dua tahun terakhir cukup menjadi pembelajaran bagi kita semua tentang mekanisme yang efektif dalam melaksanakan PJJ.

Kita tahu apa yang harus diperbaiki dan ditingkatkan. Pendekatan sistemik yang jangka panjang harus dilakukan, tetapi tidak melupakan perbaikan jangka pendek.

Pendidikan adalah sektor paling penting dan sudah menjadi tanggung jawab kita untuk meningkatkan kualitas pendidikan kita. Saatnya meningkatkan kualitas pendidikan kita melalui potensi PJJ!

/edu/read/2022/03/23/055000971/model-pendidikan-masa-depan-pendidikan-jarak-jauh-dan-tantangan

Baca berita tanpa iklan.
Baca berita tanpa iklan.
Baca berita tanpa iklan.
Close Ads
Penghargaan dan sertifikat:
Dapatkan informasi dan insight pilihan redaksi 优游国际.com
Network

Copyright 2008 - 2025 优游国际. All Rights Reserved.

Bagikan artikel ini melalui
Oke