SORE itu, dengan secangkir kopi yang terlupa gulanya, penulis membaca berita yang memukul hati. Laporan tersebut menyebutkan lebih dari 8.600 anak-anak di Indonesia menjadi korban kekerasan seksual sepanjang 2024.
Namun, lebih dari angka yang mencengangkan ini, berita tersebut memunculkan pertanyaan mendalam: bagaimana masyarakat kita merespons kekerasan seksual di era digital? Apakah kita membantu korban atau justru memperburuk penderitaan mereka?
Media sosial yang awalnya dirancang untuk mempererat hubungan kini telah berkembang menjadi ruang publik yang masif.
Namun, dalam kasus kekerasan seksual, ia sering kali menjadi tempat yang memperburuk kondisi korban.
Konten seperti video, foto, atau cerita kekerasan seksual dengan mudah menyebar luas, menjadikan tragedi ini lebih dari sekadar peristiwa nyata—ia berubah menjadi "konten" yang dikonsumsi masyarakat secara masif.
Setiap interaksi digital—entah berupa komentar, unggahan ulang, atau sekadar klik—memperpanjang siklus penyebaran trauma ini.
Jejak digital, sekali terukir, hampir mustahil dihapuskan. Korban kekerasan seksual harus menghadapi realitas pahit bahwa penderitaan mereka terus hidup di dunia maya.
Bahkan ketika kasus selesai secara hukum, jejak digital yang tertinggal tetap menjadi beban psikologis yang tak kunjung hilang.
Nama dan citra korban sering kali terus-menerus menjadi bahan diskusi, membuat mereka sulit untuk melanjutkan hidup tanpa bayang-bayang trauma yang menghantui.
Jejak ini menciptakan "penjara digital" di mana korban selalu merasa diawasi. Rasa diawasi ini serupa dengan konsep "Panopticon" yang dijelaskan Michel Foucault.
Dalam dunia maya, pengawasan tidak dilakukan oleh manusia, tetapi oleh sistem algoritmik yang bekerja tanpa henti.
Algoritma media sosial mempromosikan konten yang paling banyak menarik perhatian, tanpa mempertimbangkan dampaknya bagi korban.
Setiap komentar, setiap klik, setiap unggahan ulang memperkuat sorotan pada korban, mengubah kehidupan pribadi mereka menjadi konsumsi publik.
Selain sebagai pengawas, algoritma juga menciptakan distorsi realitas. Konsep Jean Baudrillard tentang "simulacra" dan "simulasi" menjelaskan bagaimana di era digital, citra tidak lagi merepresentasikan realitas, melainkan menggantikannya.
Kasus kekerasan seksual yang viral menjadi simulasi yang kehilangan substansi aslinya. Korban tidak lagi dipandang sebagai manusia, tetapi sebagai objek yang diolah oleh algoritma untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan konten.