KOMPAS.com - Siapa sangka, masalah mata minus atau rabun jauh yang dulu mungkin kita anggap sepele, kini telah menjadi perhatian serius di seluruh dunia.
Sebuah studi global terbaru menunjukkan bahwa satu dari tiga anak di dunia mengalami mata minus.
Angka ini cukup mencengangkan, bukan?
Baca juga: 5 Gejala Umum Mata Minus yang Perlu Anda Waspadai
Penelitian yang dipublikasikan baru-baru ini dalam British Journal of Ophthalmology mengungkapkan bahwa prevalensi mata minus pada anak-anak dan remaja meningkat tiga kali lipat antara tahun 1990 dan 2023.
Dalam studi ini, para peneliti memperkirakan bahwa jumlah kasus mata minus pada anak-anak dan remaja akan mencapai lebih dari 740 juta pada tahun 2050.
Artinya, jika tidak ada tindakan pencegahan yang berarti, diperkirakan lebih dari setengah remaja di seluruh dunia akan mengalami mata minus pada tahun 2050.
Ini adalah angka yang sangat besar dan menunjukkan betapa seriusnya masalah ini.
Temuan ini tentu perlu mendapat perhatian besar dari masyarakat global.
Pasalnya, masalah miopia bukan hanya mempengaruhi kualitas penglihatan tetapi juga dapat berdampak signifikan pada proses belajar anak.
Dikutip dari BBC, Rabu (25/9/2024), salah satu penyebab utama peningkatan mata minus pada anak-anak adalah kebiasaan menghabiskan waktu yang lama di depan layar selama pandemi COVID-19.
Waktu belajar yang meningkat di dalam ruangan dan berkurangnya aktivitas luar ruangan selama pandemi memperparah masalah ini.
Baca juga: Ramai soal Vitamin A Disebut Bisa Mengurangi Mata Minus, Benarkah?
Studi ini menunjukkan bahwa mata minus meningkat tajam setelah masa pandemi, khususnya pada anak-anak yang tinggal di Asia Timur, seperti Jepang (85 persen) dan Korea Selatan (73 persen).
Dilansir dari The Guardian, Selasa (24/9/2024), kondisi ini lebih banyak terjadi pada anak perempuan dan anak-anak yang tinggal di perkotaan dibandingkan dengan laki-laki atau anak-anak yang tinggal di pedesaan.
Mata minus juga lebih umum ditemukan pada anak-anak usia 13–19 tahun dibandingkan anak-anak usia 6–12 tahun.
Hal ini berpotensi menambah beban sistem pendidikan dan kesehatan, serta ekonomi negara karena kebutuhan perawatan mata yang lebih intensif.