KOMPAS.com - Peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) adalah tragedi berdarah di Indonesia yang menewaskan sejumlah jenderal Angkatan Darat.
Diketahui, tujuh jenderal diculik, dibunuh, lalu dimasukkan ke dalam sumur di Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Mereka disebut bagian dari Dewan Jenderal yang diisukan akan mengkudeta Presiden Soekarno pada 5 Oktober.
"Kabar burung" mengenai keberadaan Dewan Jenderal di tubuh Angkatan Darat pun hingga kini masih misteri.
Baca juga: Latar Belakang G30S dan Tanda Tanya Keberadaan Soeharto
Merespons isu tersebut, para perwira militer yang loyal kepada Soekarno bergerak secara diam-diam untuk mencegah kudeta.
Termasuk di antara mereka adalah Kolonel Abdul Latief (Komandan Garnisun Kodam Jaya), Letkol Untung (Komandan Batalion Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa), dan Mayor Sujono (Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan di Halim).
Rencananya, para jenderal yang masuk dalam daftar akan "diculik" dan dibawa ke hadapan Presiden Soekarno.
Namun, tak ada nama Soeharto dalam daftar itu, meski berpangkat mayor jenderal dan menjabat Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) atau Pangkostrad.
Jabatan itu membuat Soeharto dipandang sebagai jenderal terpenting yang dilewatkan oleh para pelaku G30S.
Lantas, apa alasan Soeharto tak masuk daftar jenderal yang akan diculik saat peristiwa G30S?
Baca juga: Di Mana Presiden Soekarno Saat Peristiwa G30S Terjadi?
Kolonel Abdul Latief, yang diketahui sebagai salah satu tokoh kunci peristiwa G30S mengungkapkan kesaksiannya kepada Mahkamah Militer terkait keberadaan Soeharto saat itu.
Latief juga membeberkan alasan nama Soeharto tidak masuk dalam target penculikan dan pembunuhan dalam G30S.
"...karena kami anggap Jenderal Soeharto loyalis Bung Karno, maka tidak kami jadikan sasaran," kata Latief seperti dikutip dari buku Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang (2010).
Menurut kesaksian Latief, ia telah memberi tahu Soeharto soal rencana penculikan sejumlah jenderal pada 30 September 1965.
Langkah ini dilakukan setelah laporannya tidak ditanggapi oleh Pangdam Jaya Mayjen Umar Wirahadikusumah dan Pangdam Brawijaya Mayjen Jenderal Basoeki Rachmat.