KOMPAS.com - Di bagian tengah dan terdalam dari Samudra Pasifik, terdapat "kuburan" bagi satelit-satelit luar angkasa yang sengaja dijatuhkan ke Bumi.
Kuburan dari satelit-satelit luar angkasa itu dijuluki sebagai Point Nemo, yang juga dikenal sebagai tempat paling sepi di muka Bumi yang tidak dapat diakses.
Point Nemo berada sangat jauh dari daratan di dunia bagian mana pun, bahkan lokasinya lebih dekat dengan Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) dengan jarak hanya 415 km (258 mil) saat melintas di atas kepala.
Lokasinya sangat terpencil, sehingga membutuhkan waktu berhari-hari untuk melintasi lautan sepanjang 2.700 kilometer (km) dari sebidang tanah terdekat yang berupa pulau kecil yang dihuni oleh burung-burung.
Kondisi yang ekstrem itu kemudian membuat Point Nemo menjadi target menarik bagi industri luar angkasa, dilansir dari Live Science (2/12/2023).
Berikut ini sejumlah fakta dari Point Nemo:
Baca juga: Mengenal Point Nemo, Lokasi Kuburan Roket dan Sampah Luar Angkasa
Sejak tahun 1970-an, program luar angkasa global telah menjatuhkan hampir 300 pesawat luar angkasa yang sudah tidak digunakan lagi, termasuk stasiun luar angkasa dan satelit, ke dalam laut, tepat di Point Nemo.
Baru-baru ini, NASA mengumumkan akan melakukan hal yang sama dengan Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) yang telah mengorbit selama 25 tahun dan yang akan resmi pensiun pada tahun 2031.
Stasiun luar angkasa yang memiliki panjang 109 meter dan berat 419.725 kg itu menjadi tambahan terbesar ke kuburan luar angkasa di Point Nemo.
Analis puing-puing antariksa di Badan Antariksa Eropa, Stijn Lemmens mengatakan, menenggelamkan wahana antariksa ke dalam lautan mungkin tampak seperti langkah yang ekstrem.
Namun, tetap membiarkannya terus beredar di luar angkasa juga bukan solusi yang baik.
Pasalnya, saat ini ini ada 40.000 obyek buatan manusia yang diketahui mengorbit planet kita, mulai dari yang berukuran 5 cm hingga pesawat raksasa seperti ISS.
Stijn mengatakan, semakin padat puing-puing antariksa, semakin besar pula risiko tabrakan antarpuing tersebut.
Hal itu menyebabkan tabrakan semakin cepat, sehingga berpotensi memicu serangkaian tabrakan yang akan menghancurkan puing-puing antariksa menjadi potongan-potongan yang lebih kecil.
Jadi, kedalaman laut yang paling terpencil ini telah menjadi pilihan terbaik untuk meminimalkan risiko saat wahana antariksa jatuh.
Baca juga: Ilmuwan Temukan “Oksigen Gelap” di Dasar Samudra Pasifik, Bukan Hasil Fotosintesis