KOMPAS.com - Kepiting tapal kuda atau horseshoe crab adalah hewan beruas dari famili Limulidae yang dalam bahasa Indonesia disebut belangkas.
Hewan bercangkang ini kembali ramai menjadi topik pembicaraan di media sosial X (Twitter), lantaran disebut berhasil selamat dari kepunahan massal tanpa berevolusi.
"Selamat dari kepunahan massal," tulis @zakiberkata.
Diketahui, kepiting tapal kuda hidup sejak lebih dari 400 juta tahun. Binatang ini dianggap istimewa karena masih bertahan hingga kini.
Diketahui, dinosaurus yang sudah punah, muncul selepas kepiting tapal kuda, yaitu sekitar 233,23 juta tahun yang lalu.
Lantas, mengapa kepiting tapal kuda bisa selamat dari kepunahan massal padahal tidak berevolusi?
Baca juga: Darah Biru Kepiting Tapal Kuda Dihargai Rp 200 Juta Per Liter, Apa Manfaatnya?
Dokter Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta Slamet Raharjo mengatakan, kepiting tapal kuda adalah jenis kepiting purba dari family Limulidae.
Berdasar fosil yang ditemukan, jenis kepiting tapal kuda ini memang sudah hidup di Bumi sejak lebih dari 400 juta tahun yang lalu. Saking lamanya, hewan satu ini juga disebut sebagai "fosil hidup".
Menurut MyFWC, kepiting tapal kuda sudah hidup di Bumi jauh sebelum dinosaurus ada. Selama itu, hewan yang juga disebut kepiting darah biru ini tidak mengalami evolusi.
"Anatomi fosil dari era 400 juta tahun lalu sangat mirip dengan spesimen hidup dari zaman sekarang. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis kepiting ini mampu bertahan melalui berbagai zaman dan hampir tidak mengalami evolusi yang berarti," terang Slamet, saat dihubungi 优游国际.com, Rabu (17/7/2024) malam.
Slamet mengatakan, penyebab kepiting tapal kuda selamat dari kepunahan massal hingga saat ini masih menjadi misteri.
"Masih menjadi misteri bagaimana hewan kelas rendah seperti kepiting darah biru mampu bertahan melewati berbagai perubahan zaman," ucapnya.
Namun, ia menduga, habitat kepiting tapal kuda menjadi salah satu alasan kuat mengapa hewan ini dapat selamat dari kepunahan massal.
"Diduga ini berhubungan dengan habitat hidup di perairan yang dampak perubahan iklimnya tidak separah wilayah daratan," kata Slamet.
"Selain itu, diperkuat juga oleh anatomi tubuh yang terlindungi, yaitu cangkang keras seperti armadilo, sehingga tidak mudah dimangsa predator, kecuali manusia," imbuh Slamet.