ERA volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity (VUCA) memberikan ketidakpastian bagi siapapun, khususnya organisasi dan bisnis. Keadaan yang serba tidak pasti membuat kita harus adaptif dalam menyikapi keadaan.
Namun, yang paling penting adalah bagaimana kita tidak berhenti belajar dan melihat dari sudut pandang yang lebih besar. Konon, para inovator dunia memiliki kemampuan untuk melihat gambaran besarnya dan mampu memperkirakan sesuatu dengan akurat.
Contohnya Jeff Bezos. Tahun 1997, dia sudah memperkirakan akan terjadi booming di bidang e-commerce dan Jeff sudah mengantisipasi perubahan sikap konsumen dan sudah menetapkan bahwa Amazon akan menjadi pemain penting di bidang itu.
Nyatanya, foresight Jeff Bezos menjadi kenyataan. Amazon menjadi perusahaan e-commerce terbesar di dunia. Pendapatannya mencapai 469 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp 7.340 triliun, jauh melebihi perusahaan e-commerce lainnya.
Baca juga:
Jeff Bezos pun ikut menuai kesuksesan yang diraih Amazon dan saat ini menjadi salah satu orang terkaya di dunia.
Kisah singkat ini mengilustrasikan salah satu karakter dari seorang pemimpin, selain visioner ia memiliki contextual intelligence, yaitu kemampuan menerapkan pengetahuan sesuai konteks situasi yang dihadapi untuk mengantisipasi perubahan yang terjadi.
Profesor Harvard, Tarun Khanna, memberikan pengertian tentang apa itu contextual intelligence. Menurut dia, contextual intelligence adalah sebuah kemampuan untuk memahami batas pengetahuan kita dan mengadaptasinya ke dalam bidang atau lingkungan yang berbeda.
Singkatnya, contextual intelligence adalah tentang bagaimana seorang pemimpin mengaplikasikan pengetahuannya di dalam kehidupan personal dan profesional.
Baca juga: Kepemimpinan Milenial
Sementara itu, Professor Harvard, Joseph Nye, melihatnya dari sudut pandang kepemimpinan, sehingga dia memunculkan istilah contextual leadership. Dia mengatakan bahwa contextual leadership sebuah kemampuan diagnosis intuitif yang dapat membantu pemimpin untuk menyelaraskan target dengan tujuan agar bisa menciptakan strategi yang cerdas.
Esensi penting dari kedua profesor di atas adalah bahwa pemimpin perlu memiliki kemampuan untuk melihat konteks dari sebuah fenomena dan menerapkan pengetahuan yang mereka miliki untuk bisa menyelesaikan masalah.
Setiap pengetahuan tidak bisa diterapkan begitu saja dalam lingkungan apapun. Pemimpin perlu mencocokkan mana pengetahuan yang relevan dan mana yang tidak. Itulah yang disebut contextual intelligence.
Pemimpin dengan contextual intelligence yang baik memahami bahwa tidak ada solusi yang bersifat one-size-fits-all. Terlebih, dengan situasi dunia yang semakin kompleks. Alhasil, pemimpin harus memformulasikan sebuah kebijakan dan solusi yang berbasis konteks.
Kemampuan itu yang akan membantu pemimpin menyelesaikan berbagai permasalahan. Mereka layaknya seorang futurist yang memiliki kemampuan untuk membedakan tren yang berdampak dalam menghadapi kompleksitas.
Seorang futurist memiliki contextual intelligence yang baik dan menggunakan kemampuan diagnosanya untuk menentukan tren yang akan berpengaruh dan beradaptasi sesuai tren tersebut.
Contoh sederhananya adalah bagaimana cara kita berkomunikasi pada hari ini. Ada berbagai cara untuk berkomunikasi: bisa melalui email, WhatsApp, media sosial, dan tatap muka. Akan tetapi, setiap platform memiliki cara dan etika yang berbeda-beda. Jenis pesannya pun berbeda.
Sangat penting untuk memahami bagaimana kita dapat berkomunikasi dengan lebih efektif agar pesan kita tersampaikan. Itu adalah beberapa ilustrasi tentang bagaimana pemimpin perlu memiliki contextual intelligence yang baik.
Dengan kata lain, perlu menggunakan langkah-langkah yang disebutkan oleh Alvin Toffler: learn, unlearn, relearn. Penerapan contextual intelligence idealnya seperti itu. Seorang pemimpin menyeleksi pengetahuan, menentukan pengetahuan mana yang berguna, dan memutuskan untuk mempelajari sesuatu apabila pemimpin tidak memiliki set pengetahuan tertentu.
Namun untuk dapat melakukan itu perlu kecerdasan emosional. Regulasi emosi memang dibutuhkan, terlebih mendeteksi tren dan memanfaatkan tren yang terjadi membutuhkan kesabaran.
Tetapi, ketika kita berhasil, dampak yang akan didapat sangat besar. Manfaat kecerdasan emosional pun juga kerap kali digaungkan oleh para pakar kepemimpinan. Ketika sedang pandemi dan harus memimpin banyak orang secara remote, kemampuan ini sangat bermanfaat.
Riset dari Wittmer & Hopkins (2021) menyimpulkan bahwa pemimpin yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi akan mengalami tingkat stres yang lebih rendah dan stabil. Menurut McKinsey di tahun 2018, tuntutan untuk kemampuan emosional dan sosial akan tumbuh 26 persen di Amerika dan 22 persen di Eropa.
Riset dari Harvard Business Review tahun 2018 juga menemukan bahwa organisasi yang mengedepankan kecerdasan emosional 64 persen lebih berdaya dan toleran terhadap risiko. Karena itu, kita bisa menyimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah salah satu aspek terpenting bagi pemimpin yang memiliki contextual intelligence yang tinggi.
Ron Ashkenas dalam artikelnya berjudul To Lead Change, Explain the Context di Harvard Business Review, memiliki nuansa yang menarik dalam menjelaskan contextual intelligence dalam memimpin.
Dia menekankan, memang dunia bisnis berjalan terlalu cepat dan strategi pasti berubah. Namun, seorang pemimpin perlu menjelaskan bagaimana fokus organisasi yang sekarang dapat membantu meraih visinya, sehingga, anggota rela untuk melakukan perubahan dan tetap berenergi.
Maksud Ron adalah bahwa setiap organisasi memiliki visi. Namun, untuk mencapai visi itu, ada beberapa misi yang harus dilaksanakan. Menurut Ron, perusahaan Hewlett Packard (HP) dulu memiliki tiga fokus yang membuat mereka berkembang: inovasi teknologi, lalu pertumbuhan melalui akuisisi, dan efisiensi.
Baca juga:
Strategi itu yang membawa HP ke tingkat yang sekarang. Poin pentingnya adalah setiap hal yang dilakukan itu bertujuan untuk meraih visinya dan pemimpin harus mengomunikasikannya secara transparan.
Hal itu akan membuat anggota merasa lebih paham dan lebih berenergi untuk bisa memberikan kontribusi terbaiknya. Anggota mengetahui kontribusinya dapat memberikan dampak positif bagi organisasinya.