KOMPAS.com - Raden Ajeng Kartini menjadi sosok pahlawan nasional yang banyak diketahui masyarakat Indonesia.
Berkat jasanya memperjuangkan pendidikan bagi perempuan pribumi, hari kelahirannya setiap tahun pada 21 April selalu diperingati.
Akan tetapi, selain Kartini, ada banyak pahlawan perempuan tangguh lainnya yang juga berjuang demi Indonesia dengan caranya masing-masing.
Baca juga: Mengenal Raden Ajeng Kartini, Sosok, dan Perjalanan Hidupnya...
Siapa saja mereka?
Cut Nyak Dien merupakan salah satu pahlawan nasional asal Aceh yang berjuang dalam melawan penjajahan Belanda.
Ia lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh pada 1848 dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar.
Cut Nyak Dhien mulai ikut mengangkat senjata dan berperang melawan Belanda pada 1880.
Akibat perang, suami pertamanya, Teuku Cek Ibrahim Lamnga tewas saat bertempur pada 29 Juni 1878. Bahkan, suami keduanya, Teuku Umar juga tewas tertembak pada 11 Februari 1899.
Namun dia terus berjuang melawan kekuasaan Belanda, sampai akhirnya diasingkan di Sumedang, Jawa Barat bersama tahanan politik Aceh lainnya.
Pada 6 November 1908, Cut Nya Dien meninggal di pengasingan dan makamnya baru ditemukan pada 1959.
Baca juga:
Ruhana Kuddus lahir di Koto Gadang, Sumatera Barat, pada 20 Desember 1884.
Ruhana berjuang melalui tulisan-tulisannya yang terbit di koran perempuan Poetri Hindia. Sampai akhirnya, pada 1912, ia mendirikan surat kabar perempuan Soenting Melajoe pada 1912.
Tulisannya kerap mengkritik budaya patriarki yang saat itu begitu kental di Sumatra Barat, seperti nikah paksa di bawah umur, poligami, dan pengekangan perempuan terhadap akses-akses ekonomi.
Selepas meninggalkan Soenting Melajoe, pengaruh Ruhana masih begitu kuat di dunia pers.
Ketika pindah ke Medan pada 1920, Ruhana mengelola surat kabar Perempoean Bergerak bersama jurnalis tersohor setempat, Pardede Harahap.
Kemudian, Ruhana memutuskan untuk pindah kembali ke tanah kelahirannya Sumatera Barat dan mengajar di sekolah Vereeniging Studiefonds Minangkabau (VSM) Fort de Kock (Bukittingi) sambil terus menulis.
Baca juga:
Sama halnya dengan RA Kartini, Raden Dewi Sartika juga memperjuangkan pribumi khususnya perempuan untuk mengenyam pendidikan.
Ia lahir di Bandung pada 4 Desember 1884. Sejak kecil Dewi Sartika memiliki bakat sebagai pengajar.
Ia selalu memanfaatkan papan bilik, kandang kereta, dan pecahan genteng untuk mengajarkan pengetahuan kepada sesama. Dia juga mengajarkan saudara perempuannya keterampilan, seperti merenda, memasak, menjahit, membaca, dan menulis.
Akhirnya pada tahun 1904, Dewi Sartika berhasil membuka sekolah khusus perempuan dengan nama Sakola Istri. Sekolah itu didirikan di ruang pendopo Kabupaten Bandung dan dibantu oleh dua orang saudaranya.