KOMPAS.com - Demonstrasi menolak pengesahan omnibus law UU Cipta Kerja terjadi di berbagai daerah di Indonesia, sejak Selasa (6/10/2020) hingga Kamis (8/10/2020).
Aksi penolakan terhadap omnibus law UU Cipta Kerja dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, seperti buruh dan mahasiswa.
Namun, seperti diberitakan 优游国际.com, Kamis (8/10/2020) sejumlah aksi penolakan tersebut berakhir ricuh. Peserta aksi terlibat bentrok dengan polisi yang mencoba membubarkan massa.
Baca juga: Aksi Demo Penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja di 9 Daerah Berlangsung Ricuh, Mana Saja?
Kericuhan dilaporkan terjadi di beberapa kota, seperti Semarang, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Makassar, dan Jakarta.
Media sosial Twitter pun diramaikan dengan tagar #PolisiAnarki sejak Kamis, (8/10/2020) hingga Jumat (9/10/2020).
Dari sejumlah unggahan warganet, tampak beberapa cuplikan video yang menampilkan para polisi melakukan tindak kekerasan kepada beberapa peserta aksi demonstrasi penolakan omnibus law UU Cipta Kerja.
Tidak sedikit warganet yang mencela penanganan secara represif dari aparat kepolisian terhadap peserta aksi unjuk rasa.
Baca juga: Website Diretas Menjadi Dewan Penghianat Rakyat, Ini Penjelasan Sekjen DPR
Lantas, bolehkah kepolisian memakai kekerasan saat menangani demonstrasi?
Komisioner Kompolnas Poengky Indarti mengatakan, dalam melakukan penegakan hukum terhadap aksi demonstrasi, khususnya terhadap orang-orang yang melakukan aksi anarkis, polisi berwenang melakukan tindakan kekerasan.
"Termasuk menggunakan kendali tangan kosong lunak, kendali tangan kosong keras, kendali senjata tumpul, senjata kimia atau alat lain sesuai standar polisi, juga kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain," kata Poengky saat dihubungi 优游国际.com, Jumat (9/10/2020).
Poengky mengatakan, pengendalian tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menghentikan tindakan atau perilaku yang dapat menyebabkan luka parah, atau kematian bagi anggota Polri atau masyarakat.
Baca juga: Akhir Pelarian Djoko Tjandra dan Cerita Tiga Jenderal
Poengky juga menyebut, tindakan pengendalian massa di lapangan, disesuaikan dengan situasi yang terjadi.
Misalnya, dalam hal penggunaan gas air mata untuk membubarkan massa demonstran.
"Tidak semuanya bisa dilengkapi dengan kendaraan water canon. Sehingga jika massa sudah anarkis dan tidak menggubris seruan anggota di lapangan untuk tertib, maka anggota boleh menggunakan gas air mata untuk membubarkan kerumunan," kata Poengky.
Baca juga: Mengenal Apa Itu Gas Air Mata, Efek, dan Cara Mengurangi Dampaknya...