KOMPAS.com – Aksi demonstrasi ojek online (ojol) dilakukan berulang kali di sejumlah daerah di Indonesia. Terakhir belangsung Kamis (27/2/2025) di Jakarta.
Demonstrasi ini berkaitan dengan tarif ojek online, potongan biaya aplikasi, serta beberapa tuntutan lainnya. Tuntutan ini kerap menjadi perdebatan di kalangan masyarakat dan pakar kebijakan transportasi.
Beberapa isu utama yang sering diangkat meliputi penetapan tarif dasar yang adil, potongan biaya aplikasi, kebijakan insentif dan promosi, serta tuntutan agar pengemudi ojek online mendapatkan tunjangan hari raya (THR), dan diangkat sebagai pekerja tetap.
Baca juga: Pemerintah Siapkan Aturan THR bagi Pengemudi Ojol, Gojek Beri Dukungan
Pakar kebijakan transportasi menilai, ada tantangan besar dalam menyeimbangkan kepentingan pengemudi, aplikator, dan konsumen.
Menurut beberapa ahli, seperti yang disampaikan dalam berbagai diskusi akademik, regulasi yang ada masih perlu diperjelas dan diperketat agar tidak hanya menguntungkan satu pihak saja.
Pemerintah diharapkan dapat memainkan peran lebih aktif dalam mengawasi dan menyesuaikan kebijakan agar ekosistem transportasi daring tetap sehat dan berkelanjutan.
Baca juga: Demo Ojol di Gedung Kemenaker Tuntut THR hingga Matikan Aplikasi Massal
Dr Yudi Wahyudi, pakar transportasi dari Universitas Indonesia menyebutkan, pada tahun 2024 mereka menyoroti revisi potongan biaya aplikasi dari 20 persen menjadi maksimal 10 persen. Hal itu perlu dikaji lebih dalam.
"Menurunkan potongan aplikasi memang dapat meningkatkan pendapatan pengemudi, tetapi kita juga harus mempertimbangkan keberlanjutan platform yang memberikan layanan ini," ujarnya.
Sementara itu, Dwi Hartanto, pengamat ekonomi digital, dalam analisisnya tahun 2024 menyatakan, kebijakan promosi yang dikritik pengemudi justru menjadi bagian dari strategi bisnis yang bertujuan meningkatkan jumlah pengguna dan akhirnya dapat memberikan lebih banyak order kepada pengemudi.
"Jika promosi dihapus begitu saja, ada risiko penurunan permintaan yang juga akan berdampak pada penghasilan mereka," jelasnya.
Terkait tuntutan THR dan status pekerja tetap, Dr Anwar Fadillah, ahli hukum ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menyatakan, pada 2024, pengemudi ojek online berstatus sebagai mitra, bukan pekerja tetap.
Anwar mengatakan, menjadikan pengemudi sebagai pekerja tetap berarti mengubah secara fundamental model bisnis platform transportasi daring. Hal ini akan berdampak luas, baik dari sisi hukum maupun ekonomi.
“Indonesia akan dihadapkan pada jutaan mitra ojol ini akan kehilangan sumber pendapatan, karena perusahaan tidak mungkin bisa menampung 100% jumlah mitra yang ada saat ini jika harus menjadi pekerja tetap" jelasnya.
Dalam kata lain, pemerintah akan mendapatkan pekerjaan rumah (PR) tambahan yaitu angka pengangguran di Indonesia bertambah drastis.
Ditambah, saat ini juga terdapat banyak perusahaan yang tutup seperti Sritex, Sanken, dan PHK besar-besaran oleh Mayora.