ILMU dan seni tidak berdiri sendiri. Keduanya membutuhkan penopang yang mendukungnya. Faktor sosial, ekonomi, budaya, spiritual, dan politik memegang peranan kebangkitan keduanya.
Ilmu dan seni tidak bisa begitu saja dibiarkan lalu berkembang dan maju. Yang sukses dalam bidang ekonomi dan politik mempunyai kewajiban menopangnya, akibatnya pada nasib bangsa.
Gelagat bangsa bisa diukur dari keduanya, seni dan ilmu. Keduanya adalah investasi jangka panjang keemasan nasib bangsa.
Peradaban-peradaban maju digerakkan oleh ilmu dan seni, baik era pra-modern maupun saat ini era globalisasi digital. Bentuknya bisa berbeda-beda.
Zaman berubah, manusia beradaptasi dengan ciptaan-ciptaannya, gaya hidup menyesuaikan dan mengejar kondisi yang tidak sama.
Di era kuno dan klasik, kemajuan kerajaan dan dinasti selalu didahului penaklukan militer. Yunani, Romawi di Eropa, Umayyah di Suriah, Abbasiyah di Baghdad, Mongol di Asia, Majapahit dan Sriwijaya di Nusantara menaklukan daerah-daerah di sekitarnya.
Kemajuan diperoleh dengan menundukkan kekuatan-kekuatan lain dan menjadikan kekuatan pusat mengatur wilayah-wilayah sekitarnya.
Kebudayaan, berupa seni dan ilmu, yang berkuasa mendominasi. Wilayah sekitar mengikuti.
Kekuatan militer dan ilmu sering bersama. Senjata-senjata yang digunakan dalam perang hasil dari kemajuan teknologi, baik kuno, klasik atau pun modern.
Setelah kemenangan perang, bangsa yang unggul akan mengembangkan ilmu dan seni. Kekuatan lunak ini yang menjadikan bangsa itu menguasai dunia.
Dinasti Abbasiyah di Baghdad memberikan patronase ilmu dan seni dengan komitmen tinggi. Para khalifah melindungi para ulama (ilmuwan) segala bidang.
Para filosof, ahli bahasa, tabib, ahli teologi, astronomi, geografi, kimia, biologi berada dalam perlindungan para khalifah.
Konon dalam banyak anekdot, para penguasa memberi emas bongkahan seberat buku-buku yang dihasilkan para penulis.
Bayangkan berapa kilo emas penulis dapat dari kitab-kitab mereka. Para penulis zaman itu menghasilkan karya yang tebal-tebal dan berjilid-jilid.
Hadiah-hadiah dari para khalifah, wazir, dan gubernur digunakan para ilmuwan untuk mengembangkan gagasan mereka kembali.