KOMPAS.com - Joko Pinurbo, adalah seorang penyair terkenal asal Indonesia. Ia lahir pada 11 Mei 1962 di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. Karyanya dikenal karena gaya yang sederhana namun menyimpan ironi dan humor.
Joko Pinurbo meninggal pada 27 April 2024 di usia 61 tahun, di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta.
Joko Pinurbo kerap mengangkat tema-tema keseharian dan mengubahnya menjadi puisi-puisi dengan sentuhan refleksi yang mendalam serta absurditas yang menyentuh sekaligus mengundang tawa. Ia juga menerbitkan sejumlah buku kumpulan puisinya, seperti Kepada Cium, Kekasihku, Buku Latihan Tidur, dan lain-lain.
Baca juga: Makna Puisi Gadis Peminta-minta Karya Toto Sudarto
Berikut beberapa puisi mendalam karya Joko Pinurbo:
Ketika saya lahir, Tuhan sedang menulis puisi
dan minum kopi dan listrik mendadak mati
Saat itu bahasa Indonesia masih sangat muda
dan pedoman ejaannya belum sempurna.
“Keren juga ini bahasa,” Tuhan berkata, “dapat
membuat negeri yang rumit cantik pada waktunya.”
Kata-kata berdatangan dari berbagai penjuru,
awalan ber- dan me- bermunculan pula,
dan Tuhan melihat semua itu asyik adanya.
Di depan kata mengarang Tuhan berseru,
“Di atas karang kudirikan puisiku. Di atas karang
kubakar arang untuk menjerang air kopiku.”
Kemudian gelap. Tuhan meraih kata kopi
dan melemparkannya ke bumi. Listrik menyala.
Hujan kopi berderai lembut di atas rumah saya.
(2014)
Baca juga: Mengenal 4 Puisi Karya Joko Pinurbo
Guru Bahasa Indonesia saya pernah berkata,
“Kiamat tak akan ada selama kau masih bisa
mengucapkan pada suatu hari atau pada suatu ketika.”
Dengan pada suatu hari atau pada suatu ketika
engkau yang kacau dapat disusun kembali,
aku yang beku dapat mencair dan mengalir kembali.
Dalam pelajaran mengarang di sekolah
kau pasti suka menggunakan pada suatu hari
dan pada suatu ketika. Begitu pun saya.
“Hidupmu lebih luas dari pada suatu hari
dan pada suatu ketika. Carilah pada suatu
yang lain,” pesan guru saya saat saya lulus
dan menyampaikan terima kasih atas segala kasihnya.
Pada suatu cium surga samar-samar terbuka.
Maut tersipu, silau oleh cahaya matamu.
Pada suatu pulang ada hati ibu yang tak pernah pergi.