KOMPAS.com - Kedatangan Raja dan Ratu Belanda ke Indonesia pada Selasa (10/03/2020) hingga Jumat (13/03/2020) mendapat penolakan dari sejumlah pihak.
Melansir BBC Indonesia, mereka yang menolak adalah keluarga korban pembantaian Westerling.
Pembantaian Westerling adalah peristiwa pembunuhan ribuan rakyat sipil di Sulawesi Selatan pada Desember 1946 hingga Februari 1947.
Pembantaian dilakukan oleh pasukan khusus Belanda Depot Speciale Troepen (DST) di bawah pimpinan Raymond Pierre Paul Westerling.
Setelah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia masih harus menghadapi Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia setelah Jepang pergi.
Di berbagai daerah, rakyat Indonesia harus berperang melawan pasukan Belanda.
Baca juga: Perang Gerilya, Taktik Perang Melawan Penjajah
Selain melakukan agresi militer, Belanda juga berusaha memecah Indonesia dengan mendirikan negara-negara boneka berbentuk negara federal. Ini terjadi di Sulawesi Selatan.
Dalam Tragedi Patriot dan Pemberontak Kahar Muzakkar (2010), dijelaskan Belanda hendak mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT) dengan Makassar sebagai ibu kotanya.
Maka pada akhir 1946, 120 orang dari pasukan khusus DST dan komandannya, Westerling, dikirim ke Makassar.
Mereka tiba dengan kapal pada 5 Desember 1946. Mereka ditugasi untuk menumpas pemberontak.
Pemberontak adalah kelompok nasionalis atau republikein, rakyat revolusioner yang mendukung kemerdekaan Republik Indonesia.
Maarten Hidskes, putra Piet Hidskes, anggota DST, menuturkan kisah perang yang selama ini ditutupi ayahnya.
Baca juga:
Maarten menceritakan Westerling memulai operasinya pada 11 Desember 1946. Sesampai di Makassar, ia membangun kamp di Mattoangin.
Pagi pagi hari, dari kamp, mereka bergerak ke kampung Batua. Warga dari kampung sekitar yakni Borong, Patunuang, Parang, dan Baray juga dibariskan di lapangan rumput.