Penulis: Reuters/VOA Indonesia
BAKU, KOMPAS.com - Negara-negara peserta konferensi tingkat tinggi (KTT) Iklim COP29 di Baku, Azerbaijan, pada Minggu (24/11/2024), sepakat untuk mengalokasikan dana sebesar 300 miliar dollar AS (Rp 4,78 kuadriliun) per tahun guna membantu negara miskin mengatasi dampak perubahan iklim.
Namun, sejumlah negara penerima donor mengkritik kesepakatan tersebut karena angka tersebut dinilai tidak mencukupi kebutuhan.
Kesepakatan itu, yang dicapai selama konferensi yang berlangsung dua pekan, bertujuan untuk memberikan momentum bagi upaya internasional dalam mengekang pemanasan global di tahun yang diperkirakan akan menjadi yang terpanas yang pernah tercatat.
Baca juga: Rusia Sertakan Wilayah Ukraina dalam Laporan Emisinya, Picu Protes COP29
Beberapa delegasi dari negara-negara memberikan tepuk tangan meriah di aula pleno COP29, sementara yang lain mengecam negara-negara kaya yang dinilai tidak berbuat lebih banyak.
Negara-negara penerima bantuan juga mengkritik tuan rumah Azerbaijan, yang dianggap tergesa-gesa meloloskan rencana kontroversial tersebut.
"Menurut kami, ini tidak akan menjawab besarnya tantangan yang kita semua hadapi. Oleh karena itu, kami menentang penerapan dokumen ini,” katanya.
Kepala iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Simon Stiell, mengakui alotnya negosiasi untuk dapat mencapai kesepakatan tersebut. Namun, ia memuji hasilnya dan menyebutnya sebagai polis asuransi bagi umat manusia terhadap pemanasan global.
"Ini merupakan perjalanan yang sulit, tetapi kami berhasil mencapai kesepakatan," kata Stiell. "Kesepakatan ini akan terus menumbuhkan ledakan energi bersih dan melindungi miliaran jiwa."
"Namun seperti polis asuransi lainnya, hal ini hanya akan berhasil jika premi dibayarkan penuh dan tepat waktu."
Berdasarkan perjanjian tersebut, negara-negara kaya akan menggelontorkan 300 miliar dollar AS per tahun hingga 2035, meningkat dari komitmen sebelumnya sebesar 100 miliar dollar AS per tahun untuk pendanaan iklim pada 2020.
Sasaran 100 miliar dollar AS ini tercapai dua tahun kemudian, pada 2022, dan akan berakhir pada 2025.
Baca juga:
Kesepakatan tersebut juga menjadi dasar bagi pertemuan puncak iklim tahun depan, yang akan diadakan di hutan hujan Amazon, Brasil, di mana negara-negara akan memetakan aksi iklim untuk dekade mendatang.
Pertemuan puncak tersebut langsung menyentuh inti perdebatan mengenai tanggung jawab finansial negara-negara industri. Negara-negara ini, yang penggunaan bahan bakar fosilnya secara historis telah menyebabkan sebagian besar emisi gas rumah kaca, diharapkan memberikan kompensasi kepada negara lain atas kerusakan yang semakin parah akibat perubahan iklim.