PADA Senin (20/1/2025), Badan Legislasi (Baleg) DPR menggelar rapat Panitia Kerja (Panja) untuk membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Ketiga atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba).
Dalam rapat pleno tertutup di hari yang sama, Baleg memutuskan bahwa perubahan UU Minerba ini menjadi inisiatif DPR.
Dalam draf terakhir yang beredar, terdapat tiga pasal yang menuai kritik, yaitu Pasal 51 ayat (1), 51A ayat (1), dan 75 ayat (2).
Ketiga pasal ini memperluas subjek penerima Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), yang kini mencakup organisasi masyarakat (ormas) keagamaan dan perguruan tinggi melalui badan usaha mereka.
Sebelumnya, kebijakan pemberian WIUP kepada ormas keagamaan melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 25 Tahun 2024 sudah menuai banyak kritik.
Kini, dengan revisi UU Minerba, perguruan tinggi juga berpotensi mendapatkan izin usaha pertambangan.
Langkah ini tentu memunculkan kekhawatiran akan peran perguran tinggi dalam ranah akademik.
Baca juga: Wacana Perguruan Tinggi Menambang: Transformasi atau Degradasi?
Keterkaitan perguruan tinggi dengan industri pertambangan bukanlah hal baru. Banyak kampus di Indonesia telah lama menjalin kerja sama dengan perusahaan tambang dalam berbagai bentuk, mulai dari penelitian, pendanaan riset, hingga beasiswa.
Beberapa universitas bahkan memiliki program studi yang secara khusus bekerja sama dengan industri pertambangan untuk mencetak tenaga kerja yang siap masuk ke sektor tersebut.
Namun, dengan adanya peluang bagi perguruan tinggi untuk mengantongi izin usaha pertambangan, keterlibatan kampus dalam industri ini bisa semakin dalam.
Kampus tidak lagi hanya menjadi mitra akademik bagi perusahaan tambang, tetapi bisa menjadi pelaku langsung dalam industri ekstraktif.
Jika hal ini terjadi, maka perguruan tinggi akan menghadapi berbagai konflik kepentingan yang dapat mengancam independensi akademik dan kebebasan berpikir di dalamnya.
Salah satu risiko utama dari kebijakan ini adalah tergerusnya independensi akademik. Kampus seharusnya menjadi ruang ilmiah yang bebas dari kepentingan ekonomi dan politik, termasuk dalam isu-isu industri ekstraktif.
Jika perguruan tinggi diberi kesempatan untuk terlibat langsung dalam usaha pertambangan, ada kemungkinan besar bahwa sikap kritis akademisi terhadap dampak lingkungan dan sosial dari industri ini akan melemah.
Baca juga:
Saat ini saja, banyak akademisi menghadapi tantangan dalam menghasilkan riset yang independen, terutama ketika penelitian mereka menyentuh isu-isu sensitif yang bertentangan dengan kepentingan bisnis atau pemerintah.