KOMPAS.com - Fenomena cahaya langit yang dipicu badai Matahari atau aurora tampak di berbagai tempat, seperti Jerman, Swiss, China, Inggris, dan Spanyol, pada Jumat (10/5/2024).
Dikutip dari Associated Press, badai Matahari diperkirakan berlangsung sejak Jumat hingga pekan depan.
Namun, fenomena alam tersebut diklaim berkaitan dengan konspirasi High-frequency Active Auroral Research Program atau HAARP, pusat riset di Alaska yang meneliti atmosfer Bumi.
Misalnya, unggahan di akun Instagram , pada Sabtu (11/5/2024), yang mengeklaim aurora merupakan eksperimen HAARP.
"HAARP MENCIPTAKAN AURORA! Mereka mungkin cantik tetapi tidak alami. Itu adalah kombinasi eksperimen HAARP dan jilatan api matahari," tulisnya, dalam terjemahan bahasa Indonesia.
Sementara, akun Facebook menyebutkan HAARP memancarkan frekuensi tinggi ke atmosfer sehingga menciptakan aurora.
Lantas, bagaimanakah faktanya?
merupakan pusat riset yang didirikan oleh militer Amerika Serikat (AS) di Gakona, Alaska, sekitar 1990-an. Universitas Alaska Fairbanks mengelola pusat riset ini sejak 2015.
Dikutip dari , Senin (13/5/2024), klaim tak berdasar seputar HAARP kemungkinan muncul karena latar belakangnya yang dibangun oleh pemerintah dan militer.
Faktanya, pusat riset HAARP dimanfaatkan untuk mempelajari ionosfer, lapisan atas atmosfer bumi, menggunakan pemancar radio frekuensi tinggi.
"Eksperimen ini mempelajari mekanisme untuk mendeteksi puing-puing ruang angkasa yang mengorbit," kata juru bicara HAARP Becky Lindsey.
Puing yang dimaksud, yakni benda-benda buatan manusia, seperti pesawat ruang angkasa tua atau bagian satelit yang mengorbit Bumi.
Kegiatan HAARP sama sekali tidak terkait badai Matahari atau fenomena aurora yang terjadi akhir pekan lalu.
Aurora yang muncul di bagian utara Bumi dikenal dengan fenomena aurora borealis.
Fenomena ini terjadi ketika elektron dan proton bertabrakan dengan gas di atmosfer Bumi, menghasilkan kilatan cahaya berwarna-warni yang tampak berkilauan di langit malam.